Blog ini akan digunakan untuk mengekspresikan tulisan-tulisan baik ilmiah ataupun fiksi. Tulisan sebagian berkaitan dengan peternakan dan kesehatan hewan. Semoga bermanfaat.
Definisi Higiene Kata Higiene berasal dari Bahasa Yunani "hygieine" (artinya healthfull = sehat), seorang nama dewi kesehatan Yunani (Hygieia). Beberapa definisi Higiene adalah: Higiene adalah seluruh kondisi atau tindakan untuk meningkatkan kesehatan (a condition or practice which promotes good health). Higiene adalah tindakan-tindakan pemeliharaan kesehatan (the maintanance of healthfull practices) Higiene
adalah ilmu yang berkaitan dengan pencegahan penyakit dan pemeliharaan
kesehatan (the sciene concerned with the prevention of illness and
maintanance of health). Pengertian higiene saat ini terkait teknologi
mengacu kepada kebersihan (cleanliness). Higiene juga mencakup usaha
perawatan kesehatan diri (higiene personal), yang mencakup juga
perlindungan kesehatan akibat pekerjaan.
Daging
adalah bagian-bagian dari hewan yang disembelih yang belum mengalami
pengawetan atau pengolahan kecuali kulit, kuku, bulu, dan tanduk
(Ressang, 1982). Menurut Soeparno (1992) Daging adalah semua jaringan
hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang
sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi
yang memakannya.
Pengertian lain dari daging yaitu bagian hewan
yang disembelih atau dibunuh dan lazim dimakan oleh manusia kecuali
telah diawetkan dengan cara lain selain didinginkan. Daging juga
merupakan komponen utama dari karkas, yang berupa hewan sembelih setelah
dikurangi kepala, darah, kulit, isi bagian dada serta metakarpal dan
meta tarsal ke bawah.
Daging
telah menjadi menu utama bagi kebanyakan orang dan tidak lengkap suatu
menu tanpa adanya tambahan daging, baik sebagai menu makan sehari-hari
maupun dalam suatu acara adat.
Daging dianggap sebagai menu
spesial baik untuk mendapatkan tambahan gizi melalui kandungan vitamin
dan mineral yang
terkandung di dalamnya bahkan bagi sebagian masyarakat
kemampuan dalam mengkonsumsi atau menyediakan daging dalam berbagai
acara agama dan adat menjadi suatu kebanggaan yang dapat meningkatkan
status sosial di tengah-tengah masyarakat.
Akan
tetapi dalam mengkonsumsi daging atau menyiapkan daging untuk berbagai
keperluan, seperti konsumsi rumah tangga, kegiatan adat-istiadat dan
upacara keagamaan dibutuhkan daging yang baik dan layak dikonsumsi. Ada
beberapa standar daging yang sehat dan layak dikonsumsi dan itu dapat
direkomendasikan oleh lembaga atau profesi yang berwenang di bidang
tersebut (terkait dalam bidang kesehatan masyarakat veteriner).
Pada
tulisan ini saya mencoba memberikan panduan dasar bagi ibu-ibu rumah
tangga khususnya agar dapat mengenali cirri-ciri dari berbagai jenis
daging yang akan dibeli, menghindari adanya pencampuaran daging ataupun
pemalsuan daging. Hal paling sederhana yang menjadi panduan ketika
membeli daging adalah mengenali daging melalui ciri-ciri khusus daging
tersebut, meliputi warna, seratnya dan konsistensinya.
Daging
dari setiap jenis ternak memiliki karakteristik tersendiri, warna daging
dan lemak dapat dijadikan pegangan untuk membedakan daging dari ternak
satu dengan yang lainnya, demikian pula serat daging.
Karakteristik dari beberapa jenis ternak adalah sebagai berikut: a. Daging Sapi -
Warna merah khas daging sapi: warna gelap, warna keungu-unguan dan akan
berubah menjadi warna merah cherry bila daging tersebut kontak dengan
oksigen terbatas. - Serat daging halus dan sedikit berlemak tergantung letak daging dalam kulkas. - Konsistensi padat. - Lemak berwarna kekuning-kuningan.
b. Daging Kerbau - Daging berwarna lebih merah dari daging sapi. - Serat otot agak kasar. - Lemaknya berwarna putih.
c. Daging Kuda - Warna daging kecoklatan, bila terkena udara luar warna daging menjadi gelap. - Serat-serat kasar dan panjang. - Konsistensi padat. - Diantara serat tidak terdapat lemak. - Lemak berwarna kuning emas dengan konsistensi lunak karena banyak mengandung oleine.
d. Daging Domba - Warna merah khas daging domba, merah lebih gelap. - Daging terdiri dari serat-serat halus yang sangat rapat jaringannya. - Konsistensi cukup padat. - Diantara otot-otot dan bawah kulit terdapat banyak lemak. - Lemak berwarna putih. - Daging domba jantan berbau khas.
e. Daging Kambing - Daging berwarna lebih pucat dari domba. - Lemak berwarna putih.
f. Daging Ayam - Warna daging pada umumnya putih kekuning-kuningan. - Serat daging halus. - Konsistensi kurang padat. - Diantara serat daging tidak terdapat lemak.
g. Daging Babi - Daging berwarna pucat merah muda, daging bagian punggung yang banyak mengandung lemak biasanya Nampak kelabu putih. - Daging berserat halus. - Konsistensi kurang padat. - Baunya spesifik, lemak jauh lebih lembek dibandingkan dengan lemak daging sapi atau kambing.
h. Daging Kelinci - Warna hampir sama dengan daging ayam. - Konsistensi
Masuknya
residu antiobiotika ke dalam tubuh lewat konsumsi daging ternak harus
diwaspadai karena dapat meningkatkan kemungkinan berkembangnya bakteri
yang resisten terhadap obat-obatan.
Peringatan
tersebut diungkapkan beberapa pakar di China menyusul tren penggunaan
antiobiotika pada hewan ternak yang makin meningkat. Laporan
menyebutkan, hampir setengah dari antibiotika yang diproduksi di Negeri
Tirai Bambu itu diberikan kepada ternak daripada digunakan untuk
mengendalikan penyakit pada manusia.
Sekitar
210.000 ton antibiotika yang diproduksi di China setiap tahun, sekitar
97.000 ton di antaranya berakhir dalam tubuh hewan, ungkap Xiao
Yonghong, profesor dari Institute of Clinical Pharmacology of Peking
University, seperti dilansir koran People’s Daily.
Riset
yang digagas Chinese Academy of Social Sciences menemukan, lebih dari
50 persen peternakan di Provinsi Shandong dan Liaoning selalu
menambahkan antibiotika pada pakan hewan yang diternakkan.
"Penggunaan
antibiotika sudah menjadi lumrah sekarang, yang berujung pada
meningkatnya tingkat kematian hewan karena tingkat kekebalan mereka
menjadi tertekan. Selain itu, antibiotika kerap merugikan kesehatan
seseorang setelah diminum," ujar Qi Guanghai, kepala riset di Akademi
Ilmu Agrikultur China.
"Perhatian
harus diberikan pada masalah asupan antibiotika melalui konsumsi
makanan sehari-hari, karena hal itu dapat meningkatkan kemungkinan
bakteri kebal yang berkembang dalam tubuh manusia," ujar Huang Liuyu,
direktur Institute for Disease Prevention and Control of the People's
Liberation Army.
Salah
satu contohnya adalah bayi seberat 650-gram yang lahir prematur di
Guangzhou. Seperti dilaporkan surat kabar People's Daily, bayi ini
mengidap resistensi terhadap tujuh jenis antibiotika, yang diduga kuat
akibat dari kebiasaan ibunya setiap hari mengonsumsi daging dan telur
yang mengandung residu atau ampas dari antibiotika.
Beberapa waktu lalu, di dataran China juga dilaporkan kasus pertama bakteri NDM-1, yang resisten pada hampir semua jenis antibiotika.
Dengan
adanya fakta meningkatnya kasus resistensi obat yang terdeteksi di
China dan belahan bumi lainnya, Huang mendesak pihak yang berwenang
seharusnya memberi perhatian lebih pada masalah ini, dan melakukan
regulasi dengan baik pada sektor ini.
"Di
Eropa, antibiotika dilarang untuk ditambahkan pada makanan ternah sejak
bertahun-tahun dan pelarangan yang sama akan diimplementasikan di
Korea Selatan," ujar Tu Yan, periset dari Akademi Ilmu Agrikultur
China.
China
memperkenalkan antibiotika ke dalam industri peternakan dalam upaya
pencegahan penyakit pada era 1990-an. Regulasi tentang tambahan
obat-obatan diterbitkan oleh China pada 2002, dan lebih banyak fokus
pada penggunaan dosis yang tepat dari jenis antibiotika berbeda pada
pakan ternak. Namun regulasi tersebut tak mengatur tentang supervisi
penjualan dan penggunaan antibiotika yang berlebihan.
Saya suka banget lihat video ini..mengupas tentang inseminasi buatan pada sapi perah dengan cara yang baik dan denngan alat yang ideal. Bagus untuk pelajaran bagi kita.
Bagian pertama video membahas bagaimana tetang bagaimana anatomi reproduksi sapi betina (reproductive anatomy of the cow). Berikut ini videonya:
Bagian kedua video membahas tentang deteksi birahi (Heat Detection). Keberhasilan deteksi birahi menjadi salah satu kunci keberhasilan inseminasi buatan. Berikut ini videonya:
Bagian keiga video membahas tentang alat-alat untuk inseminasi buatan (artificial insemination equipment) dan handling semen (penangan semen beku) mulai dari (Heat Detection). Handling alat ib yang baik dan handling semen yang benar juga merupakan salah satu kunci keberhasilan inseminasi buatan. Berikut ini videonya:
Video keempat dan kelima membahas tentang teknik pembibitan pada sapi perah (Breeding technique) dan Indikator Kunci keberhasilan Reproduksi (reproductive key performance indicators).
Berikut ini video Breeding technique:
Berikut ini video Indikator Kunci keberhasilan Reproduksi:
Demikian sedikit tentang Video lengkap Intruksi Inseminasi Buatan Pada Sapi Perah. semoga bermanfaat
Dalam
satu siklus birahi normal secara alami, dari sekian ribu oosit yang
bertumbuh kembang hanya satu saja yang akan menjadi sel telur dan
dibuahi oleh satu sel spermatozoa dari sekitar 25 juta sel dalam satu
kemasan straw semen beku. Jadi hanya satu ekor saja yang terlahir
menjadi individu baru, sementara yang lainnya ‘terbuang’ sia-sia, baik
itu oosit maupun sel spermatozoa. Sungguh suatu hal yang teramat sangat
disayangkan, sumber daya alam yang melimpah ruah ini belum diberdayakan.
Baca lagi meningkatkan efisiensi reproduksi dengan spermatozoa
kapasitasi.
Logika perhitungan menunjukkan bahwa hasil perolehan
embrio dalam satu tahun dari seekor induk donor dengan rekayasa proses
menggunakan satu hormon (PGF-2α) dua kali lipat dibanding dengan tanpa
menggunakan hormon, yaitu (17-18) : 36 embrio. Mengacu pada logika ini
diharapkan bahwa dengan melibatkan dua macam atau lebih hormon
(gonadotropin, GnRH, PGF-2α) dalam program superovulasi. Dari seekor
induk donor dalam satu tahun minimal diperoleh angka harapan perolehan
embrio in vivo sejumlah dua kali lipat dibanding dengan menggunakan
hanya satu hormon saja, yaitu 36 : 72 embrio. Atau dengan perkataan lain
empat kali lipat dibanding tanpa menggunakan hormon, yaitu (17-18) : 72
embrio.
Angka
harapan perolehan 72 embrio per tahun inilah yang sementara ini menjadi
acuan dalam program superovulasi. Sehingga satu ekor induk diprogram
superovulasi empat kali atau setiap 3 bulan sekali dalam satu tahun dan
diharapkan setiap kali program memperoleh minimal 18 embrio. Mengacu
pada lama siklus birahi rata-rata 21 hari, maka program superovulasi
dilakukan setiap periode sekitar 4-5 siklus atau 5-6 kali pengamatan
birahi normal yang teratur. Artinya setiap setelah beristirahat selama
3-4 siklus dilakukan program superovulasi.
Setelah satu tahun
berproduksi melalui program superovulasi, tahun berikutnya induk donor
diistirahatkan atau tidak produksi embrio. Induk donor ini kemudian
dibuntingkan dan melahirkan sebagaimana biasanya, agar fungsi
endokrinologis reproduktif berjalan kembali secara alami. Mengacu pada
aturan pada umumnya, yaitu masa produktif sapi adalah sampai dengan umur
10 tahun atau telah 8 kali beranak dengan calving interval 1 tahun dan
beranak pertama umur 2 tahun. Selain itu sebagai induk donor
dipersyaratkan minimal telah beranak 2 kali atau sekitar umur 3 tahun.
Maka masa produktif sapi donor menjadi sekitar 7 tahun. Bila seekor
induk diprogram superovulasi berselang seling dengan istirahat
(bunting), berarti masa produktivitas embrio selama hidupnya adalah 3-4
kali. Kalau setiap tahun dapat diperoleh 72 embrio, maka selama hidup
seekor sapi induk mempunyai angka harapan produktivitas minimal 216-288
embrio. Pengertian embrio adalah sebagai benih yang akan menjadi
pedet yang terlahir dari sapi induk resipien. Suatu jumlah yang cukup
fantastis dan spektakuler, dari satu ekor induk donor yang notabene
superior nilai genetisnya dalam satu tahun mempunyai anak keturunan
sekitar 216-288 ekor pedet, ditambah 3-4 ekor pedet hasil kelahiran
sendiri dalam masa istirahat tidak produksi embrio. Dibanding bila
bunting secara alami hanya diperoleh satu ekor pedet saja dalam satu
tahun. Maka jumlah 216-288 plus 3-4 ekor pedet merupakan peningkatan
efisiensi reproduksi yang cukup signifikan. Meskipun ada kemungkinan
angka keberhasilan itu kurang dari 100%. Sebagaimana diketahui bahwa
bakal calon sel telur telah tumbuh sejak masa janin dalam bentuk
primitif primordial germinative cell. Terus bertumbuh seiring
bertambahnya usia dan semakin pesat tumbuh kembang dalam jumlah ribuan
pada masa dewasa kelamin dengan berbagai tahapan ,antara lain oosit
primer, sekunder sampai tahapan folikel primer, sekunder, tersier dan
folikel de Graaf. Lebih dari itu setiap episode siklus birahi terdapat
satu sampai tiga gelombang folikuler tergantung tingkat fertilitas
masing-masing sapi induk donor. Secara teoritis setiap siklus
birahi dan bahkan setiap gelombang folikuler dapat dilakukan program
superovulasi. Maka dapat diperhitungkan berapa angka harapan perolehan
embrio dalam satu tahun dari satu ekor induk donor. Dengan mengacu pada
angka harapan perolehan 18 embrio setiap kali program superovulasi,
berarti dalam satu tahun 365 hari, rata-rata siklus birahi 21 hari dan
rata-rata terdapat dua gelombang folikuler, akan didapat tidak kurang
dari 648 embrio. Suatu angka efisiensi reproduksi yang cukup fantatis
dan spektakuler. Bandingkan dengan tanpa rekayasa superovulasi
bahwa dalam satu tahun hanya diperoleh satu ekor pedet keturunannya.
Suatu harapan, tantangan dan peluang. Bioteknologi reproduksi adalah
salah satu cabang disiplin ilmu yang berkaitan dengan ranting ilmu lain,
antara lain fisiologi reproduksi, embriologi, endokrinologi,
farmakologi, genetika, dll yang semua melekat erat pada profesional
dokter hewan. Mampukah menjawab harapan, tantangan dan peluang ini ?
Lebih dari itu jangan sampai kecabangan bioteknologi reproduksi ini
jatuh ke tangan orang tertentu, dikerjakan oleh fihak-fihak lain yang
tidak profesional dalam bidang teresebut. Tanggung jawab moral secara
profesional dan proporsional tetap harus berada di tangan profesi dokter
hewan. Sumber: artikel drh. M. Arifin Basyir (vet-indo.com)
Usaha meningkatkan produksi peternakan dilakukan untuk
mengatasi kurangnya konsumsi protein hewani dan rendahnya penghasilan
masyarakat Indonesia. Salah satu usaha kea rah tersebut adalah penerapan
teknologi modern dalam reproduksi. Teknologi yang dimaksud adalah
Inseminasi Buatan (IB) dan transfer embrio (TE) (Toilihere, 1987).
Transfer
embrio adalah suatu proses dimana embrio dipindahkan dari seekor hewan
betina yang bertindak sebagai donor pada waktu embrio tersebut belum
mengalami implantasi, kepada seekor betina yang bertindak sebagai
ppenerima sehingga resepien tersebut menjadi bunting (Hartantyo, 1987).
Transfer
embrio banyak dibicarakan di Indonesia pada akhir tahun 1982, sejak
datangnya seorang tamu penceramah dari Amerika Serikat yang menyampaikan
suatu bahasan mengenai TE. Ceramah diadakan di Balai Penelitian Ternak
Ciawi yang diikuti oleh para cendekia peternakan dari kalangan perguruan
tinggi, lembaga penelitian maupun Direktorat Jenderal Peternakan
(Martojo, 1987). Sedangkan teknologi transfer embrio untuk
pertama kali diintroduksi pada sapi di Cicurug Jawa Barat pada tahun
1984 dengan menggunakan embrio beku import dari Texas, USA. Transfer
dilakukan pada 77 ekor resepien dengan cara pembedahan lewat daerah
kampong oleh tim dari Granada Livestock Transplant Co, USA (Putro,
1994). Manfaat Transfer Embrio Beberapa manfaat dari teknologi transfer embrio adalah: 1.
Untuk meningkatkan populasi ternak unggul. Seekor sapi betina hanya
mampu menghasilkan 7 keturunan selama hidupnya, sedangkan dengan
penerapan TE maka seekor sapi betina mampu menghasilkan 448 keturunan
selama hidupnya. (Rutledge, 1987). 2. Import dan eksport embrio
sebagai ganti ternak dewasa sehingga biasanya menjadi lebih ekonomis.
Transfer embrio juga memungkinkan hewan melahirkan anak dari spesies
lain, misalnya kuda melahirkan zebra, domba melahirkan kambing seperti
yang terjadi di Louisville Zoo (Atmawidjaja, 1987). 3. Manfaat
lainnya adalah memperoleh keturunan dari induk yang kurang fertile,
induk yang dimaksud adalah betina yang menderita oobstruksi tuba falofia
yang bilateral total dan betina yang menderita adesi fimria bilateral
total (Martojo, 1987). Prosedur Transfer Embrio Seleksi Hewan Donor dan Resepien Seleksi
sapi betina donor untuk transfer embrio harus mempertimbangkan
faktor-faktor ekonomis dan genetic yaitu mempunyai produktivitas yang
tinggi, sehat, mempunyai siklus birahi yang regular mulai pubertas.
Angka servis tiap konsepsi tidak lebih dari 2. Mempunyai kinerja yang
baik, dan tidak pernah mengalami kesulitan melahirkan maupun gangguan
reproduksi yang lainnya. Sedangkan syarat hewan resepien adalah sapi
muda yang bebas penyakit, kinerja yang bagus, dan proses kelahiran
sebelumnya mudah. Kandidat resepien perlu diperiksa dengan cermat
kondisi kesehatan tubuh maupun status reproduksinya (Putro, 1994). Superovulasi Hewan Donor Superovulasi
adalah suatu usaha yang dilakukan untuk mendapatkan ova lebih banyak
dibandingkan dengan keadaan normalnya dengan memberikan hormone dari
luar (Hartantyo, 1987). Superovulasi memerlukan sediaan gonadotropin
yang kaya akan atau meniru efek FSH (follicle stimulating hormone).
Disamping itu FSH harus ada dalam periode yang cukup untuk memacu
pertumbuhan dan pematangan akhir folikel. Sediaan FSH, PMSG (Pregnant
mare’s serum gonadotropin) dan HCG (human chorionic gonadotropin)
merupakan agen gonadotropin yang lazim digunakan untuk superovulasi.
Hasil superovulasi meliputi jumlah embrio dan kualitas embrio sangat
bervariasi dan sulit diramalkan. Respon hewan terhadap preparat
gonadotropin tergantung dari musim, bangsa, makanan, macam preparat yang
dipakai, berat hidup, umur, fase dari siklus birahi, dan frekuensi
pemberian dan dosis gonadotropin yang digunakan (Hartantyo, 1987). Preparat
gonadotropin dapat diberikan pada fase luteal yaitu hari ke-8 sampai 12
siklus birahi yang diikuti dengan pemberian preparat prostaglandin
F2-alfa (PGF2-alfa) untuk melisiskan corpus luteumnya; pada fase
proestrus yaitu hari ke-16 sampai 20 siklus birahi tanpa diikuti dengan
pemberian PGF2-alfa. Jika superovulasi menggunakan PMSG maka PGF2-Alfa
diberikan 48 jam setelah menyuntikkan PMSG, namun jika menggunakan FSH,
maka PGF2-Alfa diberikan pada hari ke-3 atau bersamaan dengan pemberian
FSH yang ke-5. Dosis FSH yang telah digunakan pada sapi Bali adalah 24
mg untuk setiap ekor sapi, yang dibagi menjadi 8 dosis dan diberikan 2
kali sehari selama 4 hari berturut-turut (Putro, 1986; Hartantyo, 1987). Di
Indonesia PMSG lebih banyak digunakan karena dapat diperoleh dengan
mudah dan lebih murah dibandingkan dengan FSH-P. Pregnant mare’s serum
gonadotropin merupakan glikoprotein komplek yang mempunyai aktivitas
biologi seperti FSH dan LH; dimana aktivitas FSHnya lebih besar. PMSG
mengandung asam sialat 10,8% yang berfungsi mencegah degradasi
glikoprotein hormone oleh hati (Bindon and Piper, 1986). Pada spi
PMSG mempunyai daya kerja yang cukup panjang waktu paruhnya, yakni
antara 2-5 hari, sedangkan residunya tetap ada dalam sirkulasi darah
sampai 10 hari. PMSG bekerja dengan kemampuannya mencegah atau
menghambat proses atresia dari folikel ovaria (Putro, 1994). Sediaan
PMSG di Indonesia dapat diperoleh dengan mudah, dengan merk dagang
Folligon. Dosis PMSG yang dianjurkan pada sapi adalah 1:500-3.000 IU
yang disuntikkan secara intramuskuler tiap donor sapi. Untuk membantu
proses ovulasi dan mencegah terjadinya folikel anovulasi kadang-kadang
perlu diberikan HCG awal birahi dengan dosis 1.500-3.000 IU per ekor
(Anon, 1991). Waktu paruh PMSG yang panjang menimbulkan problema
overstimulasi ovaria. Problem ini dapat diatasi dengan injeksi intravena
antibody monoclonal terhadap PMSG (anti-PMSG) pada saat inseminasi.
Anti-PMSG akan menetralisir PMSG yang ada dengan menurunkan 85%
konsentrasi PMSG di darah dalam waktu 1 jam dan sampai konsentrasi yang
tidak dapat dideteksi lagi dalam waktu 2 jam. Salah satu anti-PMSG yang
dapat diperoleh di pasaran adalah Neutra-PMSG (Putro, 1994). Sinkronisasi Birahi Sinkronisasi
birahi adalah suatu usaha yang dilakukan untuk mengendalikan siklus
birahi sekelompok hewan betina sehingga birahi terjadi dalam waktu yang
bersamaan atau paling tidak dalam waktu 2 atau 3 hari. Dalam program TE
teknik sinkronisasi birahi dapat dipakai untuk menyeragamkan stadium
siklus birahi antara hewan donor dan hewan resipien. Pemindahan embrio
dapat dilaksanakan dengan berhasil ke dalam uterus hewan resipien jika
stadium siklus birahinya bersamaan dengan keadaan uterus hewan donor
(Toilihere, 1981). Sinkronisasi perlu dilakukan setelah perlakuan
superovulasi agar waktu ovulasi terjadi dalam waktu bersamaan. Untuk
keperluan ini perlu adanya induksi luteolisis dengan agen luteolitik.
Agen luteolitik yang sudah teruji manfaatnya adalah PGF2-Alfa. Birahi
pada sapi yang sudah di superovulasi akan timbul dalam waktu 36-48 jam
setelah pemberian PGF2-Alfa. Untuk perlakuan sinkronisasi birahi betina
resipien perlu diketahui terlebih dahulu siklus birahinya, karena corpus
luteum sapi peka terhadap PGF2-Alfa hari ke-5 sampai 14 siklus birahi.
Jika pada waktu korpus luteum peka diberi perlakuan maka birahi akan
timbul 1-4 hari atau rata-rata 2 hari setelah penyuntikan PGF2-Alfa.
Jika kita belum mengetahui siklus birahi sapi tersebut maka dilakukan
penyuntikan PGF2-Alfa 2 kali dengan interval 10 hari (Hartantyo, 1987). Sediaan
prostaglandin yang tersedia di pasaran antara lain: Estrumate
(Cloprostenol, ICI Pharm. Co, Cambridge, UK) dosis luteolitiknya 500 mg;
Reprodin (Luprostiol, Bayer Indonesia) dosis luteolitiknya 15 mg;
Lutalyse (Dinoprost tromethamine, Upjohn, Kalamazoo, USA); dan Prosolvin
(Luprostiol, Intervet Int. B.V., Bormeer, Holland) dosis luteolitiknya
15 mg. aplikasi sediaan prostaglandin tersebut dianjurkan dengan cara
injeksi intramuskuler (Putro, 1994). Perkawinan Hewan Donor Perkawinan
hewan donor dapat dilakukan kawin alami atau inseminasi buatan (IB).
Apabila dikawinkan secara IB maka diperlukan dosis ganda yang
aplikasinya satu dosis diberikan 6 jam setelah menunjukkan gejala birahi
dan satu dosis lagi diberikan 6 jam kemudian (Hartantyo, 1987; Putro,
1986). Pemanenan Embrio dari Donor Koleksi
embrio hewan donor dapat dilakukan pada hari ke-6 sampai 8 setelah
perkawinan, pada waktu embrio sudah berada pada kornua uteri. Pemanenan
embrio yang sudah pernah dilakukan pada sapi Bali yaitu pada hari ke-7
setelah perkawinan.
Perlengkapan yang diperlukan untuk pemanenan embrio adalah: 1. Sterio mikroskop 2. Foley cateter 3. Larutan PBS 4. Pipa kaca berbentuk Y 5. Cawan petri 6. Selang dan jarum suntik Hewan
donor dipersiapkan terlebih dahulu dengan jalan disuntik acethyl
promazin dosis 6 mg per ekor.Selanjutnya sapi dimasukkan ke kandang
jepit, daerah sekitar vulva dibersihkan dan diberi desinfektan dan
alcohol 70%. Anastesi epidural dilakukan segera sebelum katerisasi,
dengan Lignocaine 2% dosis 4-6 ml. Manfaat anastesi yang diberikan
adalah untuk mengurangi rasa sakit, mencegah pengejanan maupun
pengeluaran kotoran yang mengganggu pelaksanaan pembilasan. Cara Pemanenan: 1. Stilette Cassou Insemination Gun dimasukkan ke dalam kateter supaya menjadi kaku, selanjutnya kateter diberi pelumas. 2.
Dengan palpasi rectal, kateter dimasukkan perlahan-lahan melewati
vagina, cerviks, terus ke kornua uteri sampai 2/3 panjang kornua. 3.
Selanjutnya balon kateter diisi udara atau air sebanyak 5 ml, kemudian
stiletto gun ditarik. Pipa kaca berbentuk hurup Y dipasang, dimana
ujung-ujungnya telah terpasang selang penghubung. 4. Larutan PBS dimasukkan tiap-tiap 30-60 ml tergantung besar hewan sampai menghabiskan 500 ml setiap kornua. 5.
Hasil bilasan uterus ditampung dalam beker gelas dan dibiarkan
mengendap selama 30 menit, selanjutnya supernatannya dibuang dan sisanya
dievaluasi di bawah sterio mikroskop. Evaluasi embrio dilakukan
di bawah sterio mikroskop dengan pembesaran lebih dari 40 kali. Embrio
yang didapat harus mempunyai stadia yang relative sama; yaitu stadium
morula (32 sel), morula kompak (blastomer memadat menjadi masa yang
lebih kompak), dan blastosis awal (mempunyai blastosel). Adanya embrio
yang stadium pertumbuhannya kurang dari 32 sel menunjukkan adanya
kelambatan pertumbuhan. Embrio yang didapat dari media pembilas diambil
menggunakan mikropipet, selanjutnya dimasukkan ke dalam straw mini atau
medium bening yang transparan. Transfer Embrio ke Betina Resipien Transfer
embrio segar maupun beku ke resipien dilakukan pada hari siklus birahi
yang sama dengan umur embrio (karena embrio dipanen pada umur 7 hari)
maka siklus birahi resipien yang dapat dipakai adalah 7 ± 1 hari setelah
birahi atau birahi hewan donor dan resipien minimal dalam 24 jam
(Heath, 1982). Transfer dilakukan langsusng ke kornua uteri
kurang lebih 5-10 cm dari bifurkasio uteri. Resipien yang tidak
menunjukkan gejala birahi setelah 3 siklus birahi yang diharapkan dapat
dilakukan pemeriksaan kebuntingan per rectal untuk menentukan berhasil
tidaknya program transfer. Pemeliharaan resipien yang telah bunting sama
seperti pemeliharaan-pemeliharaan pada hewan bunting pada umumnya. Sumber: I Nyoman Sumandia, Dosen FKH Universitas Udayana, Bali
Pendahuluan Inseminasi
buatan (IB) pada unggas sebenarnya sudah dikenal sebelum tahun 1926 di
daratan China dimana pada saat itu IB dilaksanakan untuk ternak itik. 25
tahun kemudian IB dipraktekkan di Eropa Timur dan Israel pada angsa.
Namun dalam perkembangannya hingga saat ini sudah jauh dikenal untuk
mengembangkan unggas terutama untuk ayam pembibit.
Teknik
perkawinan secara IB mutlak diperlukan untuk mempercepat peningkatan
populasi ayam, khususnya ayam petelur, pedaging dan ayam kesayangan
lainnya. Teknik IB merupakan bagian dari tatalaksana ternak unggas
dengan tujuan utama adalah memproduksi anak ayam semaksimal mungkin.
Disini ada keterkaitan antara fertilitas, daya tetas dan kemampuan
memproduksi anak ayam. Keberhasilan untuk menghasilkan anak ayam yang
berkualitas tinggi tidak terlepas dari jumlah anak ayam yang menetas
(daya tetas), sedangkan daya tetas selalu berhubungan dengan fertilitas
telur. Tatalaksana yang baik dari induk yang meliputi; perkandangan,
pemberian pakan, pemilihan bibit dan teknik perkawinan yang betul akan
menghasilkan fertilitas yang tinggi. Dengan manajemen yang baik maka
anak ayam yang dihasilkan kemudian akan digunakan sebagai pengganti
induk. Tujuan inseminasi buatan pada ayam dan ayam kesayangan adalah: 1. Mempercepat proses regenerasi Regenerasi
pada makhluk hidup selalu terjadi terus menerus dan merupakan fenomena
alam. Siklus dari regenerasi pada unggas relative cepat dibandingkan
dengan ternak mamalia. Namun apabila dibandingkan dengan perkawinan alam
ternyata regenerasi ini dapat dipercepat dengan cara perkawinan secara
alam tidak dapat dikontrol umlah sperma yang digunakan dan kurang
efisien untuk unggas. Dengan adanya IB maka kemampuan induk (pejantan
dan betina) untuk berkembang biak akan lebih leluasa.
2. Mempertahankan sifat keturunan yang baik Keberhasilan
IB tidak hanya menurunkan jumlah biaya untuk pemeliharaan ayam pembibit
tetapi dengan perkawinan ini peternak dapat mempertahankan sifat
genetic yang baik dari unggas (ayam) yang dimilikinya. Sifat yang baik
dari pejantan dapat dipertahankan kemudian dikembangkan dan
disebarluaskan kepada peternak lain yang membutuhkan. Disamping
itu dapat mengurangi dan menanggulangi adanya kesulitan kawin karena
perbedaan berat badan antara pejantan dan betina, pada perkawinan secara
alam dengan system pemeliharaan dengan lantai letter (tanah). Pejantan
yang unggul tetapi mempunyai berat badan yang besar dan dapat mengawini
betina yang proporsi badannya lebih ringan dengan jalan IB. Hal ini
berarti sifat genetic yang baik masih tetap dapat disebarluaskan tanpa
adanya hambatan perkawinan. Apabila dibandingkan dengan perkawinan secara alam ternyata IB pada unggas memberikan beberapa keuntungan, yaitu:
1. Menurunkan jumlah pejantan Sungguh
tidak efisien apabila beternak unggas tidak merencanakan pejantan dan
betina yang dipelihara. Perbandingan antara jumlah jantan dan betina
mementukan jumlah keuntungan dari peternak unggas. Pada perkawinan alam
setiap 100 ekor betina membutuhkan 8-10 ekor pejantan, tetapi pada
perkawinan secara IB hanya membutuhkan 3-4 ekor pejantan, ini
disesuaikan dengan kebutuhan sperma untuk jumlah tertentu dari ayam
betina yang dipelihara.
2. Menghemat pakan Dengan mengurangi
jumlah pejantan yang dipelihara berarti akan mengurangi jumlah pakan
yang diberikan dan keuntungan yang diperoleh akan lebih besar.
Pemeliharaan pejantan pada kandang battery ternyata mampu menghemat
pakan 10% dibandingkan dengan pemeliharaan secara letter.
3. Menghemat tempat untuk pemeliharaan ayam pejantan Mengurangi
jumlah pejantan yang dipelihara berarti mengurangi jumlah kebutuhan
ruangan dan kandang, sehingga ruangan tersebut dapat digunakan untuk
memelihara induk.
4. Meningkatkan fertilitas telur Perkawinan
secara IB dapat meningkatkan fertilitas telur. Hal ini karena kebutuhan
optimal sperma untuk menghasilkan fertilitas yang maksimal dapat dekat
secara pasti sejak awal. Penggunaan sperma 100 juta/ml sudah cukup
menghasilkan fertilitas lebih dari 95%. Sedangkan dengan kawin alam
adalah 78%.
5. Meningkatkan harga DOC Karena fertilitas meningkat
maka jumlah anak ayam (DOC) yang dihasilkan meningkat pula. Metode
perkawinan secara IB dapat meningkatkan jumlah DOC antara 8-10%. Meskipun perkawinan secara IB banyak memberikan keuntungan namun terdapat juga beberapa kerugian, antara lain:
1.
Membutuhkan tenaga kerja yang terampil. IB merupakan teknologi baru di
dunia peternakan unggas sehingga mau tidak mau harus dipersiapkan tenaga
terampil untuk menangani IB. 2. Membutuhkan peralatan ekstra sehingga peternak mengeluarkan biaya tambahan. 3. Kemungkinan penyebaran penyakit melalui sperma yang bercampur feses. Kerugian ini tidaklah seberapa bila dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh. Alat
kelamin ayam jantan secara anatomi dan fungsinya terbagi dalam tiga
bagian yaitu, testes dengan epididimis, sepasang saluran deferens dan
alat kopulatoris. Testes terlihat di rongga badan deret pada
tulang belakang yaitu bagian belakang paru-paru atau bagian depan dari
ginjal. Testes berbentuk seperti biji buah buncis dengan warna putih
krem. Testes berfungsi untuk menghasilkan spermatozoa pada tubulus
semeniferus dan hormone testosterone pada sel Laydig. Setelah tubulus
semeniferus kemudian ke saluran epididimis lalu diperpanjang oleh
saluran deferens dan berakhir di kloaka. Saluran deferens ini merupakan
tempat transit dari sperma. Bila dibandingkan dengan mamalia maka
saluran deferens pada unggas merupakan tempat pemasakan dan terjadi
pada epididimis. Saluran deferens ini berakhir pada kloaka. Alat
kopulasi pada ayam berupa penis (papila) yang rudimenter. Pada itik dan
angsa papila ini lebih panjang berbentuk spiral. Organ reproduksi unggas betina secara normal memiliki hanya satu ovarium dan satu saluran telur, yaitu sebelah kiri. Ovarium
terletak di ujung cranial ginjal dan agak ke kiri dari garis tengah
daerah sublumbal cavum abdominal, ia tergantung pada dinding dorsal
abdomen oleh suatu lipatan peritoneum. Saluran telur dapat dibagi atas
lima bagian, masing-masing dengan fungsi tertentu. Infundibulum yang
berbentuk corong, menampung kuning telur yang diovulasikan dari ovarium.
Kuning telur diteruskan ke magnum yang menghasilkan albumin atau putih
telur. Selanjutnya ke isthmus yang mensekresikan selaput kulit ke uterus
atau kelenjar kulit yang menghasilkan kulit telur, dan akhirnya ke
vagina yang membantu pengeluaran telur. Dalam penerapan teknologi IB
ada faktor yang berpengaruh terhadap fertilitas telur, yaitu:
konsentrasi sperma, interval antara waktu indeminasi, waktu inseminasi,
deposisi semen, umur, dan strain ayam. Hal-hal yang perlu diperhatikan
untuk keberhasilan IB pada ayam:
1. Konsentrasi spermatozoa 100
juta/ml cukup untuk menghasilkan fertilitas lebih dari 95% dari telur
yang dikumpulkan dari hari ke 2-9 setelah IB. Konsentrasi kurang dari
100 juta/ml menurunkan fertilitas telur.
2. Interval antara waktu
inseminasi sangat dipengaruhi oleh kemampuan sperma untuk hidup transit
dan disimpan pada alat reproduksi ayam betina. Spermatozoa ini disimpan
dalam glandula oviduct. Waktu ideal untuk memperoleh fertilitas yang
tinggi adalah 6-10 hari (rata-rata 7 hari), oleh karena itu IB dilakukan
sekali dalam seminggu.
3. Transit dan penyimpanan spermatozoa di
dalam saluran reproduksi dipengaruhi oleh aktivitas dari oviduct antara
lain ada atau tidaknya telur di uterus, sekresi bagian telur, sekresi
cairan uterus. Keberhasilan IB berkorelasi dengan saat prooses
pembentukan telur. Di dalam industry peternakan ayam pembibit, IB
dilakukan 8 jam setelah matahari terbit atau memakai penerangan buatan.
Hal ini karena sebagian besar ayam bertelur 4 jam setelah mendapatkan
cahaya.
4. Secara teoritis tempat untuk IB dapat dilakukan pada alat
reproduksi ayam pada bagian vagina, uterus atau magnum. Tempat terbaik
untuk IB sebenarnya pada utero-vaginal junction tetapi sulit
pelaksanaannya karena tempatnya masuk ke dalam alat reproduksi kira-kira
3-4 cm dari kloaka. Biasanya IB sering dilakukan pada pertengahan
vagina yaitu kira-kira 1-2 cm dari kloaka agar sperma tidak kembali
karena adanya kontraksi oviduct atau erosi dari uterovaginal junction.
Erosi sperma yang masuk menyebabkan terjadinya infertilitas. Ayam
yang berumur lebih dari 40 minggu mempengaruhi fertilitas yang rendah
ini disebabkan karena kemampuan original dari ayam betina itu sendiri di
dalam menghasilkan telur yang fertil.
Sebelum melaksanakan inseminasi spermatozoa ayam pejantan ke ayam betina, persiapan-persiapan yang dilakukan adalah:
a. Persiapan alat-alat IB - Corong plastic atau gelas dilapisi paraffin pada bagian lobangnya. - Tabung penampung. - Tuberculine pipet/spuite 1 cc. Pejantan
harus dipisahkan sekurang-kurangnya 1 hari dari betina sebelum diambil
air maninya. Ayam pejantan harus diperlakukan secara halus dan perlakuan
yang kasar dapat mengakibatkan kegagalan memperoleh air mani. Makanan
ayam jantan yang dipakai harus terdiri dari banyak makanan
butir-butiran.
b. Cara pengambilan air mani Cara terbaik untuk
mengambil air mani pada ayam jantan dengan cara mengurut pada bagian
sekitar anus. Untuk itu diperlukan 2 orang yaitu untuk memegang ayamnya,
dan yang lainnya mengadakan urutan pada bagian sekeliling anus dan
menampung air mani yang keluar dengan corong beserta tabung
penampungnya. Orang pertama memegang ayam jantan pada bagian diantara
kedua kaki dengan tangan kiri, sambil menarik ke bawah kedua sayapnya
dengan tangan kanan. Orang kedua dengan tangan kiri mengangkat ekornya
ke atas, sambil mengadakan urutan ke muka dan ke belakang pada bagian
sekeliling anus, dengan corong yang berisi tabung penampung pada tangan
kanan menampung air mani yang keluar. Urutan pada anus dilakukan dengan
jari telunjuk dan ibu jari secara teratur dan terus-menerus sampai ayam
jantan member respon dengan keluarnya penis dari kloaka dan pada saat
ini akan diejakulasikan air maninya. Kadang-kadang air mani yang
diperoleh terkontaminasi oleh darah, ini disebabkan oleh adanya luka
pada papilla penis, ayam jantan harus segera diistirahatkan. c. Evaluasi semen d. Pengenceran air mani
Air
mani pada ayam akan mengalami banyak kerusakan di dalam bahan pengencer
daripada air mani mamalia. Bahan pengencer untuk sapi bukanlah bahan
pengencer yang baik untuk air mania yam. Sel spermatozoa akan lebih lama
hidup di dalam oviduct bagian anterior karena di bagian itu banyak
terdapat albumin. Sel-sel spermatozoa hanya dapat hidup beberapa menit
di dalam bahan pengencer. Oleh karena itu penambahan bahan pengencer air
mani ayam hanya mempunyai arti penambahan volume air mani dan bukan
untuk penyimpanan. Air mani yang diencerkan harus segera
diinseminasikan.
e. Cara inseminasi pada ayam betina Dalam
melakukan inseminasi pada ayam diperlukan 2 orang, pertama pemegang
betina yang akan diinseminasi pada bagian antara kedua paha dengan
tangan kiri dan ditaruh diantara badan dan tangan kiri dengan bagian
kepala menghadap ke belakang.
Tangan kanan mencari vagina dan kloaka
dengan mengadakan penekanan pada bagian abdomen sekeliling anus dengan
ibu jari dan jari telunjuk. Lubang sebelah kiri dalam kloaka adalah
vagina, lubang kedua sebelah kanan adalah anus. Segera setelah vagina
keluar dari kloaka orang kedua memasukkan pipet tuberculin ke dalam
vagina kira-kira sedalam 2 cm. sementara itu tekanan pada abdominal
dikurangi untuk mencegah keluarnya air mani dari vagina, tetapi mengalir
ke depan dan masuk ke oviduct.
f. Evaluasi hasil IB Untuk
mengetahui keberhasilan IB dapat dilakukan dengan pemeriksaan telur
(peneropongan telur) mulai hari ke-3 setelah pengeraman. Sumber: Wayan Bebas, FKH Universitas Udayana-Bali
Inseminasi
buatan pada hewan peliharaan telah dilakukan sejak beberapa abad yang
lampau. Seorang pangeran Arab yang berperang melawan pangeran lain
(tetangganya) pada permulaan abad ke-14, dengan menggunakan suatu tampon
kapas, telah mencuri semen dari dalam vagina seekor kuda betina
musuhnya yang baru saja dikawinkan dengan pejantan terkenal yang cepat
larinya. Tampon tersebut kemudian dimasukkan ke dalam vagina kudanya
sendiri yang sedang birahi, dan ternyata kuda betina tersebut menjadi
bunting dan melahirkan anak yang tampan dan cepat larinya. Sesudah itu
tidak ada catatan mengenai pelaksanaan inseminasi buatan atau penelitian
kea rah penggunaan teknik tersebut.
Tiga
abad kemudian, yaitu pada tahun 1677, Anton Van Leeuwenhoek, sarjana
Belanda penemu mikroskop dan muridnya Johan Hamm merupakan orang pertama
yang melihat sel-sel kelamin jantan dengan mikroskop buatannya sendiri.
Mereka menyebut sel-sel kelamin jantan yang tidak terhitung banyaknya
itu sebagai “animalculae” yang berarti jasad-jasad renik hewani yang
mempunyai daya gerak maju progresif. Di kemudian hari sel-sel kelamin
jantan tersebut dinamakan spermatozoa. Pada tahun berikutnya, 1678,
seorang dokter dan anatom Belanda, Reijnier (Regner) de Graaf menemukan
folikel dalam ovarium kelinci. Penelitian ilmiah yang pertama
dalam inseminasi buatan pada hewan peliharaan dilakukan oleh fisiolog
dan anatom Italia terkenal yaitu Lazaro Spallanzani pada tahun 1780.
Setelah berhasil menginseminasi amphibian ia memutuskan untuk
melanjutkan percobaannya pada anjing. Anjing-anjing betina dikandangkan
dalam rumahnya sendiri dan sesudah lewat 20 hari, seekor anjing betina
memperlihatkan tanda-tanda birahi yang nyata. Anjing tersebut
diinseminasi dengan semen (pada suhu tubuh) yang dideposisikan langsung
ke dalam uterus dengan menggunakan spuit lancip. 62 hari sesudah
inseminasi induk anjing tersebut melahirkan 3 anak yang kesemuanya bukan
saja serupa dengan induknya tetapi juga mirip anjing buatan yang
dipakai semennya. Pada tahun 1782 percobaan Spallanzani diulangi
oleh P. Rossi (Italia) dengan hasil memuaskan. Semua percobaan ini
membuktikan bahwa kebuntingan dapat terjadi dengan menggunakan
inseminasi dan menghasilkan turunan yang normal. Spallanzani
selanjutnya membuktikan bahwa daya membuahi semen terletak pada
spermatozoa, bukan pada cairan semen. Hal ini dibuktikan dengan
menyaring semen yang baru ditampung, cairan yang melewati saringan tidak
mempunyai daya membuahi sedangkan yang tertinggal di atas filter
mempunyai daya fertilisasi yang tinggi. Inseminasi buatan pertama
kali digunakan pada peternakan kuda di Eropa pada tahun 1890 ketika
seorang dokter hewan Prancis, Repiquet menasehatkan pemakaian teknik
tersebut sebagai suatu cara untuk mengatasi kemajiran. Pada waktu itu
dalam beberapa peternakan kuda di Eropa persentase konsepsinya sangat
rendah sehingga dilakukan penelitian-penelitian dalam usaha untuk
mengatasinya. Profesor Hoffman dari Stuttgart, Jerman menganjurkan
inseminasi buatan sesudah perkawinan alam. Setelah perkawinan alam,
vagina dikuakkan dengan speculum dan semen diambil dengan spuit,
kemudian dicampur dengan susu sapi dan diinseminasikan lagi ke dalam
uterus hewan tersebut. Pada tahun 1902, Sand dan Stribolt dari
Denmark, setelah berhasil memperoleh 4 konsepsi dari 8 kuda betina yang
diinseminasi, menganjurkan inseminasi buatan sebagai suatu cara yang
ekonomis dalam penggunaan dan penyebaran semen dari kuda jantan yang
berharga dan untuk memajukan peternakan pada umumnya. Dalam
perkembangan selanjutnya tercatat Rusia menjadi Negara pertama yang
menggunakan metode inseminasi buatan secara serius sebagai suatu cara
untuk memajukan peternakan. Peneliti Rusia yang terkenal dan pelopor
terkemuka di bidang inseminasi buatan adalah Profesor Elia Ivannoff.
Ivannoff yang pertama kali berhasil melakukan inseminasi buatan pada
sapi dan domba. Selain inseminasi pada kedua ternak tersebut, inseminasi
pada kuda juga berhasil di bawah pengawasannya. Di Askaniya-Nova pada
tahun 1912 inseminasi pada 39 ekor kuda betina menghasilkan 31 konsepsi,
sedangkan dengan perkawinan alam hanya diperoleh 10 konsepsi dari 23
kuda betina. Dengan keberhasilan inseminasi buatan oleh Ivannoff
tersebut telah mengundang banyak perhatian dan kemudian mendorong
pemerintah Rusia mendirikan laboratorium kedokteran hewan pada
Departemen Pertanian dengan tujuan utama untuk mempelajari fisiologi
pembuahan dan melatih dokter-dokter hewan dalam teknik inseminasi
buatan. Pada tahun 1914 seorang guru besar fisiologi manusia di
Roma, Giuseppe Amantea melakukan penelitian-penelitian mengenai
spermatologi. Ia menggunakan anjing, ayam dan burung merpati sebagai
hewan percobaan. Dan penemuan terbesarnya yang membantu perkembangan
inseminasi buatan adalah vagina buatan (artifisian vagina) pertama pada
anjing, dan selanjutnya vagina buatan tersebut dapat digunakan dan
dikembangkan banyak peneliti di Rusia untuk membuat vagina buatan untuk
sapi, kuda dan domba. Penemuan vagina buatan ini merupakan suatu
sumbangan yang sangat berharga dan satu langkah maju dalam inseminasiu
buatan, karena dengan menggunakan vagina buatan semen yang
diejakulasikan dapat ditampung seluruhnya dan juga dapat menghindari
kontaminasi dan kemungkinan infeksi dari vagina hewan betina. Penggunaan
inseminasi buatan secara besar-besaran pada sapi dilakukan oleh
Milovanov (Rusia) sejak tahun 1931. Sampai tahun 1936 di Rusia telah
dilakukan inseminasi buatan pada 6,45 juta ekor domba dan 230.000 ekor
sapi. Pada tahun 1938, angka-angka ini meningkat menjadi 120.000 kuda,
1,2 juta sapid an 15 juta domba. Di Rusia, inseminasi pada domba telah
menjadi sangat popular dan kebanyakan peternakan dan kawanan domba
inilah satu-satunya cara beternak yang digunakan. Di luar Rusia,
Denmark menjadi negara yang pertama-tama memulai dan menganjurkan
pekerjaan-pekerjaan secara sistemik mengenai inseminasi buatan.
Professor Eduard Sorensen dan Jens Gylling-Holm mengorganisir koperasi
inseminasi buatan yang pertama di Denmark pada tahun 1936. Pada
tahun 1949 ditemukan teknik pembekuan semen sapi oleh C. Polge, A.U.
Smith dan A.S. Parker di Inggris. Penemuan ini mempercepat kemajuan
inseminasi buatan. Mereka berhasil menyimpan semen untuk jangka panjang
dengan membekukannya sampai -79 ⁰C dengan menggunakan CO₂ padat (dry
ice) sebagai pembeku dan glycerol sebagai pengawet. Penggunaan nitrogen
cair kemudian ternyata lebih praktis dan semen dapat lebih tahan lama
hidup dengan suhu penyimpanan -196 ⁰C. Kemajuan inseminasi buatan
dilaporkan pada tahun 1970 telah berhasil menginseminasi lebih dari 30
juta ekor sapi di Eropa, 20 juta di Rusia, 10 juta di Amerika Utara dan 2
juta di Amerika Selatan. Sejarah dan Perkembangan inseminasi Buatan di Amerika dan di daerah Tropis Inseminasi
buatan di Amerika Serikat diperkenalkan pada tahun 1937 dan koperasi
inseminasi buatan yang pertama didirikan pada tahun 1938, namun teknik
inseminasi buatan ini baru dapat diterima oleh masyarakat peternak pada
tahun 1945. Sampai pada tahun 1950 barulah terlihat pengaruh-pengaruh
genetic terhadap populasi ternak sapi. Pada tahun 1956 sebanyak 21 %
sapi perah di Amerika Serikat diinseminasi secara buatan, pada 1969
meningkat menjadi 52 % atau 8 juta sapi. Selain bertujuan untuk
meningkatkan populasi, perkembangan inseminasi buatan di Amerika juga
dimanfaatkan sebagai alat untuk mengendalikan penyakit dan menaikkan
mutu genetik. Meski demikian inseminasi buatan ini tidak dipakai secara
luas untuk menaikkan mutu ternak sapi perah di Amerika Serikat.
Perkembangan inseminasi buatan komersial pada sapi perah di Amerika
Serikat merupakan hasil sumbangan dari Institut Pertanian dan
Universitas-universitas di seluruh negeri itu. Sedangkan
perkembangan inseminasi buatan pada beberapa negara berkembang sesudah
tahun 1960 atau setelah informasi tentang inseminasi buatan diketahui.
Selama periode 1960-1970 banyak publikasi yang menyarankan pentingnya
peningkatan persediaan makanan, terutama makanan yang berasal dari
ternak untuk memenuhi kebutuhan konsumsi populasi manusia yang bertambah
banyak. Sebagai akibatnya banyak perhatian yang dicurahkan untuk
pengembangan dan penerapan teknik-teknik beternak modern, seperti
inseminasi buatan untuk mengintensifkan produksi ternak. Perkembangan
yang menonjol dalam periode 10 tahun tersebut adalah: inseminasi buatan
pada babi telah berkembang di Hongkong, Srilanka, Tiongkok Selatan,
Thailand, Filipina, Jamaica, Australia dan Burma. Selain itu berkembang
inseminasi buatan pada kerbau di India dan Pakistan. Inseminasi
buatan pada babi di Burma, Jamaika, Thailand dan Taiwan menunjukkan
hasil-hasil positif. Perkembangan inseminasi buatan pada babi sangat
pesat terjadi di Hongkong dimulai sejak tahun 1958-1959. Inseminasi
buatan pada domba tidak mempunyai arti praktis di daerah-daerah tropis
demikian pula inseminasi buatan pada kambing tidak mendapat perhatian. Di
India, inseminasi buatan pada kerbau mencapai 54,2 % konsepsi,
sedangkan di Pakistan persentase kerbau betina yang tidak kembali minta
kawin mencapai 80,9 %. Di jamaika, pelayanan inseminasi buatan
berkembang atas usaha dan rangsangan program pengembangan peternakan
dari pihak pemerintah. Target program tersebut adalah meningkatkan
produksi susu menjadi 3 kali lipat pada tahun 1975. Sebagian besar
pelaksanaan inseminasi buatan masih menggunakan semen cair. Semen beku
dan nitrogen cair sebagai bahan pengawet baru diperkenalkan pada tahun
1962. Kenya memberikan suatu gambaran perkembangan inseminasi
buatan pada sapi secara mantap. Antara tahun 1948-1958 jumlah sapi yang
diinseminasi menanjak dari 10.503 menjadi 101.345 dan mencapai 259.219
pada tahun 1967. Peningkatan ini dari 6 kali lipat selama 10 tahun
meningkat menjadi 18 kali lipat dalam masa 18 tahun.
Kali ini saya akan membahas tentang Penyakit Jamur Pada Hewan Kecil. Indonesia memiliki kelembaban yang tinggi sehingga kasus penyakit jamur sering kali dijumpai pada praktek hewan kecil. Berikut ini Penyakit Jamur Pada Hewan Kecil.
sumber : anjingkita.com
1. ASPERGILLOSIS Aspergillosis
merupakan penyakit jamur yang menyerang berbagai jenis hewan yang
ditandai dengan batuk-batuk, sesak nafas dan kekeurusan.
Etiologi Aspergillosis
disebabkan oleh Aspergillus sp, pada kambing dan domba disebabkan oleh
Aspergillus flavus dan Aspergillus fumigates. Aspergillus sp tumbuh baik pada suhu 30°C dan 37°C, dan dapat ditumbuhkan pada media agar Sabouraud.
Epidemiologi Distribusi Geografis Aspergillosis tersebar luas di dunia.
Hewan Terserang Aspergillosis menyerang berbagai jenis hewan seperti kambing, domba, sapi, kerbau dan ruminansia lain.
Cara Penularan Aspergillosis
dapat ditularkan melalui udara tercemar dan faktor predisposisi karena
infestasi cacing paru-paru dan usus atau penggunaan oksitetrasiklin yang
terus menerus.
Gejala Klinis Hewan terserang ditandai dengan nafsu makan turun, sesak nafas, batuk-batuk dan kurus.
ternakkucing.blogspot.com
Diagnosa Penyakit
ini dapat didiagnosa berdasarkan gejala klinis, perubahan patologis dan
isolasi jamur. Isolasi dilakukan pada media yang diperkaya dan media
agar Sabouraud. Jamur dalam jaringan dapat diperlihatkan dengan
pemeriksaan mikroskopis dari usapan jaringan pada gelas slide,
pemeriksaan Periodic Acid Schiff (PAS), Gomris (Grocott’s), Gridly’s dan
Lactophenol Cotton Blue. Diagnosa Banding Hewan terserang memiliki gejala klinis yang mirip dengan Mikoplasmosis, Tuberkulosis dan Q Fever. Pencegahan dan Pemberantasan Hewan
terserang dapat diobati dengan pemberian amfoterisin B. kandang harus
tetap bersih dan kering. Menghindari penggunaan oksitetrasiklin
berlebihan. 2. STRAWBERRY FOOTROT
Nama lain: Proliferatif Dermatitis, Cutaneous Streptothricosis, Cutaneous Actinomycosis atau Mycotic Dermatitis. Merupakan
penyakit menular dan menyerang berbagai jenis hewan seperti kambing,
domba, rusa, kuda, kelinci yang ditandai dengan dermatitis eksudatif
atau purulen pada kulit. Penyakit ini juga bersifat zoonosis. Etiologi Penyakit ini disebabkan oleh Dermatophilus congolensis atau pedis, termasuk dalam famili Dermatophilaceae. Dermatophylus
memiliki mycelium dan filament seperti pita yang bagian samping
bercabang. Septa dibentuk transversal, horizontal dan vertikal. Mycelium
dan spora adalah gram positif, bersifat aerobik dan memfermentasi
lemah. Pada media setengah padat bentuknya halus, basah, mucoid dan
tidak melekat, koloninya berwarna putih keabu-abuan kemudian berubah
agak kekuningan dengan meningkatnya umur biakan. Epidemiologi Distribusi Geografis Penyakit
ini tersebar luas di beberapa negara seperti Inggris, Skotlandia,
Australia, New Zealand, Afrika dan India. Di Indonesia belum pernah
dilaporkan. Hewan Terserang Penyakit
ini terutama menyerang domba, meskipun secara percobaan penyakit ini
ditularkan pada kambing, marmut dan kelinci. Kasus paling tinggi terjadi
pada musim panas dan agak jarang pada musim dingin. Cara Penularan Cara
penularan penyakit ini tidak diketahui dengan pasti, tetapi kemungkinan
karena gesekan pada tanah yang menyebabkan luka-luka kemudian dicemari
oleh bakteri. Keropeng kulit mengandung banyak bakteri yang tetap
infektif dalam waktu lama dan mencemari tanah di sekitarnya. Lalat Stomoxys calcitrans dan Musca domestica dapat bertindak sebagai vektor mekanis dari penyakit. Gejala Klinis Hewan
terserang ditandai dengan lesi-lesi pada kulit berupa luka-luka
bernanah. Kepincangan dan rasa sakit yang hebat saat berjalan. Lesi-lesi
tetap ada selama 5-6 minggu bahkan pada kasus kronis dapat berlangsung
selama 6 bulan dan pada kasus yang hebat dapat diikuti dengan kematian. Diagnosa Penyakit dapat didiagnosa dengan melakukan pemeriksaan mikroskopis atau FAR dan teknik biakan. Diagnosa Banding Penyakit ini sangat mirip dengan Orf, Scabies atau Demodecosis. Pencegahan dan Pemberantasan Tidak
ada pengobatan yang spesifik untuk penyakit ini. Terapi pengobatan yang
dapat dilakukan dengan antibiotika penisilin (50.000 iu/kg bb) dan
streptomisin (50 mg/kg bb) secara intramuskuler. Pemberian
Fulvicin per oral, dan mengoleskan gentian violet 1 % dalam alcohol dan
asam salisilat 5 % pada kulit dilaporkan efektif selama sebulan.