Dalam
satu siklus birahi normal secara alami, dari sekian ribu oosit yang
bertumbuh kembang hanya satu saja yang akan menjadi sel telur dan
dibuahi oleh satu sel spermatozoa dari sekitar 25 juta sel dalam satu
kemasan straw semen beku. Jadi hanya satu ekor saja yang terlahir
menjadi individu baru, sementara yang lainnya ‘terbuang’ sia-sia, baik
itu oosit maupun sel spermatozoa. Sungguh suatu hal yang teramat sangat
disayangkan, sumber daya alam yang melimpah ruah ini belum diberdayakan.
Baca lagi meningkatkan efisiensi reproduksi dengan spermatozoa
kapasitasi.
Logika perhitungan menunjukkan bahwa hasil perolehan embrio dalam satu tahun dari seekor induk donor dengan rekayasa proses menggunakan satu hormon (PGF-2α) dua kali lipat dibanding dengan tanpa menggunakan hormon, yaitu (17-18) : 36 embrio. Mengacu pada logika ini diharapkan bahwa dengan melibatkan dua macam atau lebih hormon (gonadotropin, GnRH, PGF-2α) dalam program superovulasi. Dari seekor induk donor dalam satu tahun minimal diperoleh angka harapan perolehan embrio in vivo sejumlah dua kali lipat dibanding dengan menggunakan hanya satu hormon saja, yaitu 36 : 72 embrio. Atau dengan perkataan lain empat kali lipat dibanding tanpa menggunakan hormon, yaitu (17-18) : 72 embrio.
Logika perhitungan menunjukkan bahwa hasil perolehan embrio dalam satu tahun dari seekor induk donor dengan rekayasa proses menggunakan satu hormon (PGF-2α) dua kali lipat dibanding dengan tanpa menggunakan hormon, yaitu (17-18) : 36 embrio. Mengacu pada logika ini diharapkan bahwa dengan melibatkan dua macam atau lebih hormon (gonadotropin, GnRH, PGF-2α) dalam program superovulasi. Dari seekor induk donor dalam satu tahun minimal diperoleh angka harapan perolehan embrio in vivo sejumlah dua kali lipat dibanding dengan menggunakan hanya satu hormon saja, yaitu 36 : 72 embrio. Atau dengan perkataan lain empat kali lipat dibanding tanpa menggunakan hormon, yaitu (17-18) : 72 embrio.
Angka harapan perolehan 72 embrio per tahun inilah yang sementara ini menjadi acuan dalam program superovulasi. Sehingga satu ekor induk diprogram superovulasi empat kali atau setiap 3 bulan sekali dalam satu tahun dan diharapkan setiap kali program memperoleh minimal 18 embrio. Mengacu pada lama siklus birahi rata-rata 21 hari, maka program superovulasi dilakukan setiap periode sekitar 4-5 siklus atau 5-6 kali pengamatan birahi normal yang teratur. Artinya setiap setelah beristirahat selama 3-4 siklus dilakukan program superovulasi.
Setelah satu tahun berproduksi melalui program superovulasi, tahun berikutnya induk donor diistirahatkan atau tidak produksi embrio. Induk donor ini kemudian dibuntingkan dan melahirkan sebagaimana biasanya, agar fungsi endokrinologis reproduktif berjalan kembali secara alami. Mengacu pada aturan pada umumnya, yaitu masa produktif sapi adalah sampai dengan umur 10 tahun atau telah 8 kali beranak dengan calving interval 1 tahun dan beranak pertama umur 2 tahun.
Selain itu sebagai induk donor dipersyaratkan minimal telah beranak 2 kali atau sekitar umur 3 tahun. Maka masa produktif sapi donor menjadi sekitar 7 tahun. Bila seekor induk diprogram superovulasi berselang seling dengan istirahat (bunting), berarti masa produktivitas embrio selama hidupnya adalah 3-4 kali. Kalau setiap tahun dapat diperoleh 72 embrio, maka selama hidup seekor sapi induk mempunyai angka harapan produktivitas minimal 216-288 embrio.
Pengertian embrio adalah sebagai benih yang akan menjadi pedet yang terlahir dari sapi induk resipien. Suatu jumlah yang cukup fantastis dan spektakuler, dari satu ekor induk donor yang notabene superior nilai genetisnya dalam satu tahun mempunyai anak keturunan sekitar 216-288 ekor pedet, ditambah 3-4 ekor pedet hasil kelahiran sendiri dalam masa istirahat tidak produksi embrio. Dibanding bila bunting secara alami hanya diperoleh satu ekor pedet saja dalam satu tahun. Maka jumlah 216-288 plus 3-4 ekor pedet merupakan peningkatan efisiensi reproduksi yang cukup signifikan. Meskipun ada kemungkinan angka keberhasilan itu kurang dari 100%.
Sebagaimana diketahui bahwa bakal calon sel telur telah tumbuh sejak masa janin dalam bentuk primitif primordial germinative cell. Terus bertumbuh seiring bertambahnya usia dan semakin pesat tumbuh kembang dalam jumlah ribuan pada masa dewasa kelamin dengan berbagai tahapan ,antara lain oosit primer, sekunder sampai tahapan folikel primer, sekunder, tersier dan folikel de Graaf. Lebih dari itu setiap episode siklus birahi terdapat satu sampai tiga gelombang folikuler tergantung tingkat fertilitas masing-masing sapi induk donor.
Secara teoritis setiap siklus birahi dan bahkan setiap gelombang folikuler dapat dilakukan program superovulasi. Maka dapat diperhitungkan berapa angka harapan perolehan embrio dalam satu tahun dari satu ekor induk donor. Dengan mengacu pada angka harapan perolehan 18 embrio setiap kali program superovulasi, berarti dalam satu tahun 365 hari, rata-rata siklus birahi 21 hari dan rata-rata terdapat dua gelombang folikuler, akan didapat tidak kurang dari 648 embrio. Suatu angka efisiensi reproduksi yang cukup fantatis dan spektakuler.
Bandingkan dengan tanpa rekayasa superovulasi bahwa dalam satu tahun hanya diperoleh satu ekor pedet keturunannya. Suatu harapan, tantangan dan peluang. Bioteknologi reproduksi adalah salah satu cabang disiplin ilmu yang berkaitan dengan ranting ilmu lain, antara lain fisiologi reproduksi, embriologi, endokrinologi, farmakologi, genetika, dll yang semua melekat erat pada profesional dokter hewan. Mampukah menjawab harapan, tantangan dan peluang ini ? Lebih dari itu jangan sampai kecabangan bioteknologi reproduksi ini jatuh ke tangan orang tertentu, dikerjakan oleh fihak-fihak lain yang tidak profesional dalam bidang teresebut. Tanggung jawab moral secara profesional dan proporsional tetap harus berada di tangan profesi dokter hewan.
Sumber: artikel drh. M. Arifin Basyir (vet-indo.com)
No comments:
Post a Comment