Sebuah cerita inspiratif yang mudah-mudahan bisa mengingatkan kita semua.
Suatu hari saya menghadiri acara aqiqah salah seorang kawan. Beliau baru melahirkan anak pertamanya. Saat sesi perkenalan, sang suami memperkenalkan diri, sambil berterima kasih atas kehadiran para undangan pada acara aqiqah anak pertamanya, dari istri pertama. Dan memang istrinya hanya satu. Maksudnya bercanda saja. Tak dinyana ustadz yang diundang taushiyah memberi teguran. Istri dalam kondisi kesakitan setelah melahirkan. Setelah sebelumnya kelelahan mengandung anak dari sang suami selama sembilan bulan. Hati-hati dalam berbicara, karena mungkin akan menyakiti perasaannya, meskipun hanya bercanda.
Di kesempatan lain saya menghadiri sebuah pengajian. Seorang teman membawa penganan (kue) hasil karyanya. Saya dan teman-teman lain memuji sambil menikmati kue itu. Sang pembawa kue terlihat tak percaya diri. "Maenya raos? Saur pun raka mah matak nyareri patuangan cenah (Betul enak? Kata suami saya (kuenya) bikin sakit perut)" ucapnya sambil nyengir. Saya terkejut sekali mendengar ucapan itu..tak terbayang ada suami yang tega berucap seperti itu pada istrinya.
Di kesempatan lain seorang istri mengeluhkan bahwa suaminya kerapkali melakukan bullying secara verbal. Pokoknya segala label buruk pernah disematkan pada sang istri jika suami emosi. Sungguh luar biasa ketabahan sang istri dalam mempertahankan rumah tangganya ini.
Selain itu banyak juga istri yang mengeluhkan sang suami tanpa segan mengejek fisiknya, atau membandingkan dengan orang lain. Membuat dia jadi merasa tak percaya diri dan tidak dicintai. Membuatnya merasa tak berdaya dan putus asa..seolah apapun yang dilakukannya tak pernah berkenan di hati suaminya. Sehingga rutinitas rumahtangga hanya menjadi beban yang merenggut energinya. Dan berubahlah dia menjadi wanita kuyu dan kusam, seperti bulan yang tak memiliki sinar.
Bullying verbal mungkin tidak separah kasus KDRT yang melibatkan fisik. Sehingga banyak orang abai dalam hal ini. Ini bahkan terjadi di dalam rumah tangga yang (mengaku) Islami. Menganggapnya sebagai hal biasa, bercanda, lumrah dilakukan dan tidak menyakitkan. Padahal bagi seorang istri, kata-kata lembut, menyenangkan, memotivasi dan menyejukkan adalah hak, termasuk ke dalam nafkah batin yang harus dipenuhi.
Pemenuhan hak ini oleh para suami akan memberikan ketentraman dan kenyamanan pada istri. Memberikan kekuatan dan ketabahan pada istri, dan menjadi penambah energi dalam mengerjakan berbagai hal di rumah tangga.
Terkadang istri bisa lebih bertahan berkekurangan dalam nafkah lahir, daripada diberikan kelimpahan materi namun diiringi ucapan menyakitkan hati. Lebih parah lagi jika sudahlah nafkah lahir tidak terpenuhi, kata-kata yang diungkapkan menyakitkan pula. 😔
Rasulullah teramat menjaga perasaan Istri-istrinya. Beliau tak pernah mengucapkan hal yang kasar.
"Barangsiapa yang beriman kepada Alloh dan hari Akhir, janganlah ia mengganggu tetangganya, dan berbuat baiklah kepada wanita. Sebab, mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Jika engkau meluruskannya. Maka engkau mematahkannya dan jika engkau biarkan, maka akan tetap bengkok. Oleh karena itu, berbuatlah baik kepada wanita." (HR. Bukhori dan Muslim)
Bahkan beliau memperbolehkan 'dusta putih' dalam komunikasi suami istri..tentunya sebatas dusta yang baik saja. Memuji masakan walau rasanya tak keruan, memuji penampilan saat istri berusaha melakukan perbaikan, saling berterima kasih, pura-pura bersemangat membantu, dll.
Ummu Kultsum binti ‘Uqbah bin ‘Abi Mu’aythin, ia di antara para wanita yang berhijrah pertama kali yang telah membaiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia mengabarkan bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak disebut pembohong jika bertujuan untuk mendamaikan dia antara pihak yang berselisih di mana ia berkata yang baik atau mengatakan yang baik (demi mendamaikan pihak yang berselisih, -pen).”
Ibnu Syihab berkata, “Aku tidaklah mendengar sesuatu yang diberi keringanan untuk berdusta di dalamnya kecuali pada tiga perkara, “Peperangan, mendamaikan yang berselisih, dan perkataan suami pada istri atau istri pada suami (dengan tujuan untuk membawa kebaikan rumah tangga).” (HR. Bukhari no. 2692 dan Muslim no. 2605, lafazh Muslim).
Juga seperti perkataan ahli hikmah “wanita adalah tiang Negara, apabila wanita itu baik maka Negara akan baik, dan apabila wanita itu rusak, maka Negara akan rusak pula”
Copas status sahabat di fb..
No comments:
Post a Comment