Saturday, May 1, 2010

Laporan Reproduksi Sapi Perah KUD Mandiri Cisurupan


Judul laporan




Tanggal Pelaksanaan
Nama/ NRP   
:  Laporan Praktik Lapangan
    Pelayanan Kesehatan  Reproduksi Sapi  Perah di Wilayah Koperasi Unit Desa (KUD) Mandiri,  Kecamatan Cisurupan, Kabupaten Garut, Jawa Barat.
:   8 Agustus- 5 Sepetember 2009
:   Dwi Susanto/ B04104035
   
1. Kegiatan Pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB) pada Sapi Perah.
Pelayanan bidang reproduksi di peternakan sapi perah KUD Mandiri Cisurupan meliputi pelayanan inseminasi buatan (IB), pemeriksaan kebuntingan (PKB), penanganan infertilitas dan sterilitas (kemajiran).  Pelayanan inseminasi buatan (IB) dan pemeriksaan kebuntingan (PKB) yang diikuti mahasiswa bersama petugas lapangan dapat dilihat pada Tabel 1. 

Tabel 1 Pelayanan IB dan PKB di KUD Mandiri Cisurupan

No
Kegiatan
Jumlah (ekor)
1
Inseminasi buatan (IB)
27
2
Pemeriksaan Kebuntingan (PKB)
9

Sistem pelaporan inseminasi buatan di KUD Cisurupan dilakukan dengan beberapa cara yaitu: menitipkan nama peternak ke petugas pengambil susu, datang langsung ke KUD atau menghubungi melalui telpon atau pesan singkat ponsel. Di KUD ada seorang petugas yang merekapitulasi laporan permintaan inseminasi buatan dari peternak dan akan mengelompokan berdasarkan wilayah kerja inseminatornya. Pada pukul 08.00 inseminator akan mendapatkan daftar nama peternak dari tiap wilayah kerjanya siapa saja yang sapinya minta diinseminasi.
Setelah sampai di kandang inseminator akan menanyakan kapan mulai terlihat gejala birahinya dan kapan terakhir diinseminasi atau meminta bukti inseminasi terakhir. Kadang-kadang data inseminasi terakhir ditulis di dinding atau tiang kandang. Setelah itu biasanya petugas mengamati bagian vulvanya untuk melihat apakah terdapat perubahan yang menunjukan gejala birahi seperti bengkak, warna lebih merah, keluar lendir bening kemudian meraba bagian vulva apakah terasa hangat dan ekornya apakah mudah diangkat. Apabila belum yakin sapi siap diinseminasi petugas akan melakukan palpasi perektal untuk melihat derajat ketegangan kornua uterinya. Setelah yakin sapi siap diinseminasi, petugas akan meminta air hangat untuk thawing dan sabun sebagai pelicin tangan. Untuk sabun biasanya sudah disediakan oleh peternak sejak awal karena sudah menjadi prosedur dan kebiasaan. Tahap berikutnya petugas akan menyiapkan peralatan inseminasi  seperti straw dari dalam thermos kecil berisi N2 cair, gun IB, plastic sheet, pinset, tissue, gunting dan sarung tangan plastik. Setelah itu petugas mencuci tangan dan menyiapkan sarung tangan plastik kemudian melakukan thawing, thawing dilakukan dengan mencelupkan straw ke dalam air bersuhu  35-37°C selama 15-30 detik, kemudian straw diambil dan dikeringkan dengan tissue lalu dimasukkan ke dalam insemination gun.  Setelah ujung straw (sumbat laboratorium) digunting baru plastic sheet dipasang.  Inseminator akan membersihkan daerah vulva dari feses dengan tissue. Palpasi perektal dilakukan sebelum memasukan insemination gun, apabila banyak feses dikeluarkan. Setelah itu semen akan dideposisi setelah ujung gun melalui cincin serviks keempat.
Setelah selesai melakukan inseminasi petugas akan mencuci tangan dan mencatat pelaksanaan inseminasi tersebut pada struk rangkap tiga, di mana lembar pertama untuk peternak, lembar kedua akan diserahkan ke KUD dan lembar terakhir sebagai arsip inseminator. Di KUD lembar tadi akan dipindahkan ke komputer data base KUD untuk data keberhasilan IB, jumlah straw yang terpakai dan kinerja inseminator. Lembar tersebut berisi data antara lain: nama peternak, kelompok, alamat, nama atau nomor sapi, tanggal IB terakhir, tanggal kelahiran terakhir, inseminasi keberapa setelah partus, informasi straw, derajat birahi, petugas dan tandatangan peternak.
O'Connor dan Peters (2008) mengatakan bahwa hal penting sebelum melakukan inseminasi perlu memeriksa apakah sapi benar-benar birahi untuk meningkatkan keberhasilan. Selanjutnya faktor yang harus diperhatikan yaitu menjaga kesterilan alat-alat yang digunakan, handle (restrain) yang tepat agar sapi tidak stress dan persiapan semen. Beberapa hal yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas inseminasi antara lain menjaga kebersihan alat-alat dari kontaminasi, pelicin rektum jangan sampai mengiritasi vulva dan vulva harus dibersihkan untuk menghindari kontaminasi saluran reproduksi.
Gray dan Varner (2009) mengatakan bahwa gejala sapi estrus antara lain terlihat gelisah dan berusaha menaiki sapi lain, mengangkat ekor, mencium bagian belakang sapi lainnya, vulva bengkak dan hiperemis, keluar lendir berwarna bening dan terkadang nafsu makannya menurun. Deteksi estrus yang baik dilakukan minimal 2 kali dalam satu hari dan keberhasilan tertinggi didapat jika inseminasi dilakukan 12-18 jam setelah estrus terlihat. Ketepatan pengamatan estrus akan menetukan ketepatan inseminasi (Nebel et al. 1994).
Secara umum urutan inseminasi terdiri dari pemeriksaan birahi, membersihkan gun, thawing, membersihkan vulva dari feses, memasukan gun, deposisi semen de Vries et al. (2005). Pelaksanaan inseminasi di lapangan dibandingkan dengan literatur dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Perbandingan teknik inseminasi di lapangan dengan literatur
Teknik
Lapangan
Literatur
Pemeriksaan birahi sebelum IB
Dilakukan
Harus dilakukan
Membersihkan gun sebelum IB
Dilakukan
Harus dilakukan
Waktu thawing,
suhu lingkungan (<30oC)
15-30 detik;
 36-30ºC
15-30 detik;
 36-40ºC
Membuang feses dari rektum sebelum gun masuk ke vagina
Dilakukan
Harus dilakukan
Membersihkan vulva sebelum gun dimasukkan
Dilakukan
Harus dilakukan
Gun IB tidak menyentuh labia vulva
Dilakukan
Dilakukan
De Vries et al. (2005)

Pelaksanaan inseminasi buatan di Cisurupan sudah dilakukan dengan baik sesuai literatur. Pelaksanaan inseminasi buatan yang dilaksanakan dengan benar akan memberikan beberapa keuntungan antara lain: a) Menghemat biaya pemeliharaan ternak jantan; b) Dapat mengatur jarak kelahiran ternak dengan baik; c) Mencegah terjadinya kawin sedarah pada sapi betina (inbreeding); d) Dengan peralatan dan teknologi yang baik spermatozoa dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama; e) Semen beku masih dapat dipakai untuk beberapa tahun kemudian walaupun pejantannya telah mati; f) Menghindari kecelakaan yang sering terjadi pada saat perkawinan karena fisik pejantan terlalu besar; g) Menghindari ternak dari penularan penyakit terutama penyakit yang ditularkan melalui hubungan kelamin (Rahadi 2009).
Keberhasilan IB dapat diketahui dari angka kebuntingan, Conseption Rate (CR) atau persentase sapi betina bunting pada IB pertama dan Service per Conseption (SC) atau jumlah pelayanan IB yang dilakukan untuk suatu konsepsi atau kebuntingan (Ball dan Peter 2004). Nilai CR yang terlalu rendah dapat diakibatkan oleh rendahnya akurasi pendeteksian estrus, kesalahan penanganan semen, rendahnya kualitas semen, tidak tepatnya waktu inseminasi, kesalahan teknik inseminasi, infeksi traktus reproduksi, buruknya status nutrisi, fertilitas atau kondisi cuaca yang tidak optimal (de Vries et al. 2005). Di KUD Mandiri Cisurupan belum ada data berapa besar nilai SC dan CR sebagai indikator penilaian keberhasilan inseminasi buatan.


2. Kegiatan Pelayanan Pemeriksaan Kebuntingan (PKB).

Pemeriksaan kebuntingan pada peternakan sapi perah di Cisurupan tidak terjadwal rutin oleh KUD. Petugas lapangan baru memeriksa kebuntingan apabila ada permintaan dari peternak, banyak kejadian di lapangan peternak mengasumsikan bila sapi tidak kembali menunjukan gejala estrus setelah sebulan diinseminasi dianggap berhasil, sedangkan bila kembali menunjukan gejala estrus akan dilaporkan untuk diinseminasi lagi.
Apabila ada laporan pemeriksaan kebuntingan petugas akan datang ke kandang dan bertanya kapan terakhir diinseminasi dan melihat kartu bukti IB terakhir. Apabila sudah memasuki hari ke 60, petugas akan melakukan palpasi. Apabila di bawah 60 hari petugas akan menunda pemeriksaan kebuntingan sampai mencapai hari ke 60. Diagnosa kebuntingan diperoleh berdasarkan perubahan anatomi organ reproduksi seperti asimetri kornua uteri, fluktuasi, fremitus arteri uterina media dan adanya gerakan dari fetus itu sendiri. 
Kegiatan PKB dilapangan umumnya dilakukan pada usia kebuntingan 2-3 bulan, hal ini disebabkan karena pada usia kebuntingan tersebut asimetri kornua uteri sudah jelas terasa dan bifurkasio uteri masih dapat dirasakan sehingga lebih mudah mendiagnosa ada tidaknya kebuntingan.  Di samping itu usia kebuntingan kurang dari 2 bulan sangat riskan terhadap kemungkinan abortus jika pelaksanaannya tidak dilakukan secara hati-hati. Pada usia kebuntingan diatas 3 bulan kornua yang bunting sudah semakin besar sehingga asimetri kornua uteri tidak terasa lagi, karena kornua uteri yang ada fetusnya sudah menutup kornua satunya. Mulai usia kebuntingan 4 bulan, dapat dirasakan adanya denyutan dari arteri uterinea media yang letaknya kira-kira di bidang medial dari os illium, sedikit ke kranial. Dengan semakin bertambahnya usia kebuntingan, denyutan akan berubah menjadi desiran yang kekuatannya semakin meningkat. 
Diagnosa kebuntingan berdasarkan ada tidaknya desiran arteri uterina media sangat penting, terutama pada usia kebuntingan 5-6 bulan.  Hal ini disebabkan pada usia kebuntingan tersebut, uterus yang bunting telah menjorok (turun) jauh ke dalam rongga perut, sehingga sulit diraba dengan palpasi perektal. Setelah selesai melakukan pemeriksaan kebuntingan melalui palpasi perektal, petugas akan mencatat pada nota bukti pemeriksaan rangkap 3 yang isinya mencakup sapi dalam keaadaan bunting. Informasi yang terdapat dalam nota hasil pemeriksaan tersebut meliputi nama peternak, alamat, identitas sapi, inseminasi terakhir dan perkiraan usia kebuntingan. Seperti halnya kartu inseminasi lembar tersebut akan diserahkan kepada peternak, KUD dan arsip petugas. Di KUD data PKB akan dimasukan ke dalam komputer berdampingan dengan data inseminasi. Dari data tersebut akan terlihat berapa kali inseminasi yang diperlukan sampai berhasil bunting untuk satu individu sapi akseptor.
Idealnya pemeriksaan kebuntingan sudah dapat dilakukan berdasarkan data inseminasi di komputer.  Hal ini tentu saja bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan inseminasi dan mencegah kehilangan anak akibat kegagalan deteksi kebuntingan. Kenyataan tersebut berkaitan erat dengan manajemen inseminasi yang belum tertata dengan baik, bila manajemen inseminasi sudah tertata dengan baik maka akan mampu mencegah atau dapat segera dilakukan penanganan bila terjadi kegagalan reproduksi. Deteksi kebuntingan sejak awal dapat meningkatkan performan reproduksi dengan mengurangi pengulangan inseminasi dan pendeteksian gangguan reproduksi dengan cepat sehingga dapat dilakukan pengobatan secara tepat (Fricke 2002).
Pengetahuan tentang kebuntingan ternak setelah inseminasi sangat penting bagi peternak dan petugas lapangan untuk memutuskan tindakan selanjutnya terhadap ternak tersebut. Terdapat beberapa metode untuk menentukan kebuntingan ternak antara lain ketiadaan estrus, kontur dinding abdomen, palpasi perektal, gambar sinar-X, ultrasounografi, endoskopi, test biologis, test hormonal (RIA), undulasi profundal serta metode biopsi vagina (Manan Dj 2001). Palpasi perektal adalah metode penentuan kebuntingan sapi yang umum digunakan di Peternakan Sapi Perah Cisurupan.
Pemeriksaan kebuntingan dengan palpasi perektal memiliki beberapa keuntungan antara lain akurat, cepat dan mudah. Akan tetapi harus dilakukan oleh tenaga ahli dan terlatih. Waktu paling cepat untuk pemeriksaan kebuntingan adalah 35 hari post inseminasi tetapi di lapangan umumnya dilakukan 45-60 hari post inseminasi (Moreira dan Hansen 2005). Sedangkan struktur yang teraba pada saat palpasi dapat di lihat pada Tabel 3. Selain menentukan bunting atau tidak pemeriksaan yang dilakukan harus mampu menentukan usia kebuntingan beserta prediksi partusnya. Kondisi ini harus dibedakan dengan kondisi abnormal seperti pyometra, mummifikasi fetus, mukometra, maserasi fetus, tumor atau torsio uteri (Manan 2001).
Manan (2001) menyatakan bahwa indikasi sapi yang bunting dikenali dari: terabanya kornua uteri membesar yang berisi cairan plasenta (amnion dan alantois), selip selaput fetal-alantochorion pada penyempitan terhadap uterus dengan ibu jari dan telunjuk, perabaan dan pemantulan fetus di dalam uterus yang berisi selaput fetus dan cairan plasenta, perabaan plasenta dan fremitus dari arteri uterina media. Fetal membran selip adalah pembuktian adanya selaput fetal atau selubung fetus, sedangkan fetal slip adalah meraba kornua uteri dengan ibu jari dan jari telunjuk atau melakukan pengurutan secara hati-hati kornua uteri ke depan, sehingga embrio dan selaput foetus terdorong ke ujung kornua uteri.
Tabel 3 Hasil palpasi perektal pada sapi perah untuk pemeriksaan kebuntingan
Kebuntingan hari ke
Posisi Uterus
Diameter uterus (cm)
Struktur yang teraba
35-40
Rongga pelvis
2-3
Asimetri uteri
45-50
Pelvis/ abdomen
5.0 - 6.5
fetal slip membrane
60
abdomen
6.5 - 7.0
fetal slip membrane
90
abdomen
8.0 - 10.0
Plasentom kecil/fetus (10-15 cm)
120
abdomen
12
Plasentom kecil/fetus (25-30 cm); fremitus
150
abdomen
18
Plasentom kecil/fetus (35-40 cm); fremitus
Moreira dan Hansen (2005) dan Manan (2001).

Proses pemeriksaan kebuntingan di Cisurupan sudah baik karena sesuai dengan literatur. Masalah utama yang terjadi yaitu pemeriksaan kebuntingan dilakukan hanya jika ada laporan peternak. Seharusnya PKB sudah bisa dilakukan berdasarkan data inseminasi.

















3. Kegiatan Pelayanan Penanganan Gangguan Reproduksi.
Selama mengikuti kegiatan di peternakan sapi perah KUD Mandiri Cisurupan didapatkan beberapa kasus gangguan reproduksi yang dapat di lihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kasus gangguan reproduksi dan terapinya yang ditemukan di lapangan

No

Kasus gangguan reproduksi
Jumlah (ekor)
Terapi
1
Endometritis
3
Penstrep (Penicillin 400ribu IU,  Streptomycin 500 mg,   1 gr dalam 10-20 ml aquadest steril); Vitamin B Kompleks (Vitamin A, B2, B6, B12, D3, Nikosamida, D-pantenol) dosis                  5-10 ml/ekor
2
Retensio secundinae
1
Penstrep (Penicillin 400ribu IU,  Streptomycin 500 mg,   1 gr dalam 15-20 ml aquadest steril); Vitamin B Kompleks (Vitamin A, B2, B6, B12, D3, Nikosamida, D-pantenol) dosis 15-20 ml/ekor. Roxine (Enrofloxacin 100 mg) dosis 5 ml/200 kgBB
3
Sistik Luteal
2
Prostamon® (PGF2α 6 mg/5ml)
4
Sistik Folikel
1
GnRH (100µg/5ml)
5
Repeat Breeder
2
Penstrep-IP (mengandung penisillin G-Procain 1.500.000 IU dan streptomisin sulfat 4 gr), dosis 4 ml/kg BB secara intra uterinee. 



Endometritis

Endometritis merupakan peradangan yang terjadi pada endometrium (mukosa uterus). Peradangan tersebut dapat disebabkan karena mikroorganisme baik virus, bakteri, protozoa dan fungi. Infeksi uterus post partus sangat merugikan secara ekonomis dan memperpanjang days open (Hanafi et al. 2008). Menurut Cuneo et al. (2006), endometritis biasa terjadi setelah kejadian retensio secundinae, aborsi, kelahiran kembar, serta kerusakan jalan kelahiran post partus.
Gejala klinis yang tampak biasanya keluar mukus dari vulva (LeBlanc et al. 2002)  Namun keadaan ini tidak selalu terjadi. Penelitian lain menunjukan bahwa sapi yang menunjukan gejala klinis endometritis memiliki sejarah anestrus atau repeat breeder (Hanafi et al. 2008). Pada kasus di lapangan mikroorganisme dapat masuk dengan mudah pada saat periode post partus dimana serviks masih dalam keadaan terbuka atau pada saat inseminasi yang tidak dilakukan secara aseptis, kejadian lanjutan dari kasus retensio sekundinarum yang ditangani tidak tuntas, atau trauma akibat penanganan distokia. Bakteri yang biasa menginfeksi uterus adalah Streptococcus sp., Staphilococcus sp., Klebsiela sp., Escherichia coli, Bacillus sp. dan  Alkagenes fecalis. 
             Pengobatan endometritis yang dilakukan di lapangan adalah dengan pemberian antibiotika secara intramuskuler dan spool intra uterine dengan PenStrep (Penicillin 400.000 IU dan Streptomycin 500 mg dalam 10-20 ml aquadest steril) untuk mengeliminasi kuman di dalam uterus. Sedangkan pemberian vitamin B kompleks diharapkan dapat meningkatkan nafsu makan sehingga akan memperbaiki sistem ketahanan tubuh.
Smith et al. (1998) melaporkan bahwa beberapa golongan antibiotika yang efektif untuk mengobati endometritis antara lain 22.000 IU/kgbb Procaine Penicillin G i.m selama 5 hari, 22.000 IU/ kgbb Penicillin selama 5 hari yang dikombinasikan dengan 6 gram  Oxytetracycline selama 3 hari ke dalam uterus atau  2.2 mg/kgbb Ceftiofur Sodium i.m. selama 5 hari. Penggunaan kombinasi antibiotika lain juga sangat baik dilakukan untuk mencegah terjadinya resistensi bakteri terhadap Penstrep, mengingat penggunaan Penstrep begitu dominan dilakukan untuk terapi penyakit lainnya. Golongan antibiotika Penicillin dan Streptomycin cukup efektif untuk pengobatan endometritis, sedangkan  oksitetrasiklin tidak disarankan untuk digunakan karena dapat menyebabkan penurunan produksi susu. Terapi akan memberi efek yang lebih baik jika dilakukan irigasi terlebih dahulu untuk mengeluarkan cairan dari dalam uterus kemudian dilakukan pengobatan. Pencegahan terhadap kasus ini dapat dilakukan dengan mencegah terjadinya infeksi uterus seperti kebersihan alat yang dipergunakan pada waktu menolong kelahiran, melakukan sanitasi kandang secara rutin serta pelaksanaan inseminasi buatan yang aseptis.


Retensio Sekundinarum

Retensio sekundinarum terjadi jika plasenta tidak lepas dan keluar setelah lebih dari 8-12 jam post partus. Hal ini terjadi akibat gagalnya pelepasan vili kotiledon fetus dari kripta karunkula maternal. Sesudah fetus keluar dan chorda umbilikal putus, tidak ada darah yang mengalir ke vili fetal sehingga vili tersebut mengerut dan mengendor. Uterus berkontraksi dan aliran darah ke uterus makin menurun. Karunkula maternal mengecil dan kripta melebar (Manan 2001). Kejadian retensio plasenta sering terjadi mengikuti gangguan kelahiran seperti: lahir kembar, distokia, aborsi atau kelahiran prematur serta pada kasus bedah sesar. Adanya infeksi brucellosis, leptospirosis, vibriosis, listeriosis, infectious bovine rhinotrscheitis dan beberapa infeksi yang lain akan meningkatkan kejadian retensio plasenta sampai 50% atau lebih pada sapi.  Penggunaan preparat hormon glicocorticoid untuk menginduksi kelahiran juga terbukti meningkatkan kejadian retensio plasenta sampai 67%. Selain itu, ternak dengan manajemen pemeliharaan yang buruk, kekurangan nutrisi, penyakit metabolisme atau mastitis akut pada saat partus akan meningkatkan kejadian retensio plasenta (Manspeaker 2006).
Retensio plasenta yang dibiarkan lama tanpa penanganan yang baik akan menimbulkan infeksi sekunder sehingga dapat menyebabkan terjadinya endometritis sampai tingkat pyometra yang parah. Ini disebabkan karena defisiensi hormon seperti oksitosin dan estrogen sehingga kontraksi uterus berkurang atau karena proses partus yang terlalu cepat. Retensio sekundinarum juga terjadi pada sapi yang kekurangan vitamin A. Kekurangan vitamin A menyebabkan hiperkeratosis, metritis, abortus dan retensio sekundinarum (Manan 2001).
Penanganan kasus retensio sekundinarum di KUD Cisurupan dengan menarik sisa selaput fetus yang masih berada di bibir vulva dan mengelupas setiap pertautan villi kotiledon dari kripta karunkula induk secara manual (manual removal). Setelah itu dilakukan spool antibiotika Penstrep (Penicillin 400ribu IU,  Streptomycin 500 mg, 1 gr dalam 15-20 ml aquadest steril) secara intra uterine dan di injeksi vitamin B kompleks (Vitamin A, B2, B6, B12, D3, Nikosamida, D-pantenol) dosis 15-20 ml/ekor serta Roxine®  (Enrofloxacin 100 mg) dosis 5 ml/200 kgBB.
Penanganan yang dapat dilakukan pada kasus retensio sekundinarum dengan cara melepaskan ikatan kotiledon dan karunkula secara manual dengan tangan (manual removal) (Subronto & Tjahajati 2001). Selain itu dapat juga dilakukan pemotongan plasenta yang menggantung, sedangkan sisanya dibiarkan tertinggal di dalam uterus kemudian dimasukkan antibiotika intra uterine. Menurut Subronto dan Tjahajati (2001) antibiotika yang dapat digunakan untuk retensio sekundinarium adalah Tetrasiklin, Nitrofurans, Neomycin dan Sulfonamida.
Pengobatan dengan kombinasi Trimetroprim® dan preparat sulfa akan bekerja sinergis di dalam menghambat reaksi enzimatis obligat bakteri, sehingga bakteri dapat dihilangkan (Manan Dj. 2001). Sebaiknya pengobatan tidak hanya diberikan antibiotika saja tapi juga dikombinasikan dengan pemberian hormon estrogen dan oksitosin dengan tujuan untuk meningkatkan kontraksi uterus sehingga sisa plasenta dapat dikeluarkan.


Sistik Luteal

            Sistik luteal terjadi apabila kadar lueinizing hormone (LH) dalam darah kadarnya rendah, tetapi pada waktu yang bersamaan kadar LTH (hormon prolaktin) meningkat. Kondisi ini sering terjadi pada sapi dengan produksi susu yang tinggi setelah beranak. Karena meningkatnya hormon LTH dalam darah, maka folikel muda yang ada pada ovarium akan mengalami proses luteinisasi. Pada folikel akan terbentuk sel lutein dan warnanya berubah menjadi kuning. Folikel yang mengalami proses ini disebut sistik luteal. Pada kondisi normal luteinisasi terjadi setelah ovulasi.
Wiltbank et al. (2002) menjelaskan status fisiologis anestrus pada sapi perah akibat korpus luteum persisten, di mana sapi seolah-olah bunting. Folikel yang ukurannya sangat kecil, kemungkinan disebabkan kekurangan LH. Kekurangan LH terjadi akibat kekurangan energi (asupan pakan) yang berkaitan erat dengan body condition score (BSC) yang rendah. Hal ini berkaitan pada rendahnya sekresi estradiol oleh folikel yang berkaitan dengan tanda-tanda birahi. Pada tahap ini sapi tidak memiliki kadar LH yang cukup untuk ovulasi dan estrogen untuk tanda-tanda estrus. Pada kondisi ini hormon didominasi oleh progesteron, sehingga sapi menunjukan gejala seolah-olah bunting dengan tidak menunjukan gejala estrus.
Sistik luteal biasanya bersifat tunggal, dindingnya lebih tebal dibandingkan dengan sistik folikel, sehingga lebih sulit pecah bila dipijit melalui palpasi per rektal. Kista luteal kadang-kadang dijumpai bersama dengan corpus luteum yang normal, baik pada ovarium yang sama maupun ovarium sebelahnya. Oleh karena sistik luteal terdiri dari sel lutein pada dindingnya, maka sistik luteal mampu menghasilkan hormon progesteron dalam kadar yang cukup tinggi sehingga gejala klinis yang paling  utama adalah anestrus. Sistik luteal berasal dari folikel muda yang belum mengalami ovulasi, di dalamnya mengandung sel telur yang masih muda. Sistik luteal banyak ditemukan pada sapi perah yang produksi susunya tinggi dan dikelola secara intensif. Sistik luteal banyak didiagnosa dalam jangka waktu 60 hari setelah beranak, yaitu pada saat produksi susu sedang meningkat.
            Untuk penanggulangan kasus sistik pada ovarium, baik itu sistik folikel maupun luteal, secara umum dapat ditempuh 2 cara yaitu hormonal dan non hormonal. Secara hormonal dapat digunakan berbagai macam preparat hormon seperti hormon LH, GnRH, Progesteron, PGF2α atau pemecahan sistik secara manual. Terapi non hormonal disampaikan oleh Tenhagen et al. (2003) dan Gumen et al. (2005) yaitu dengan menunda inseminasi sampai hari ke 94-101 post partus, meningkatkan kualitas pakan dan memperpendek masa kering kandang. Secara hormonal seperti di Amerika digunakan metode Ovsynch yaitu menyuntikan GnRH diikuti PGF2α 7 hari berikutnya setelah 48-56 jam disuntikan GnRH kedua yang dapat di inseminasi setelah 14-18 jam penyuntikan GnRH ke dua (Gumen et al. 2003). Dosis hormon untuk sapi PGF2α 25mg/ ekor dan GnRH 100 μg/ ekor (Kasimanickam et al. 2009). Sedangkan Martinez et al. (2002) dalam sebuah penelitian menggunakan dosis 0.5 mg/ ekor melengestrol acetate (Progesteron Releasing Device), 100 μg GnRH/ ekor, 12.5 mg/ ekor porcine-LH (pLH), 2 mg Estradiol Benzoate (EB) dan 50 mg progesterone (P4).
            Di KUD Cisurupan kasus sistik luteal belum ditangani dengan baik. Sapi-sapi yang menunjukan gejala sistik luteal tidak segera diberi terapi hormonal karena persediaan hormon di KUD terbatas bahkan kadang-kadang tidak ada. Sebaiknya KUD meningkatkan pengadaan preparat hormonal untuk terapi kasus sistik luteal ini dan menganjurkan perbaikan manajemen kepada peternakterutama kualitas pakan. Kejadian sistik luteal ini berkaitan erat dengan asupan nutrisi yang rendah.


Sistik Folikel

            Sistik folikel adalah perkembangan folikel yang besar bersifat patologis pada ovarium. Sering juga disebut nymphomania dimana hewan memperlihatkan gejala berahi yang tidak teratur dan berulang. Kejadian sistik folikel erat kaitannya dengan kualitas pakan maupun mineral. Faktor penyebab sistik folikel bervariasi antara lain pemberian hormon estrogen dosis tinggi, umur, produksi susu, musim, genetik dan stres. Dengan adanya sistik folikel maka folikel tidak akan mengalami ovulasi, memiliki dinding folikel tipis, permukaan halus dan lunak berisi cairan (Gumen and Wiltbank 2002).
Gejala klinis yang tampak dilapangan setelah mendapat laporan dari peternak adalah sapi tersebut menunjukkan gejala estrus terus menerus dan telah 3 kali diinseminasi tetapi tidak bunting. Dari hasil palpasi perektal didapat ovarium kanan ukurannnya sangat besar (5x3x2cm) dan terdapat  beberapa folikel. Penanganan yang dilakukan di lapangan adalah dengan pemberian preparat hormon yang mengandung GnRH (100 μg).  
Sebagian besar sistik folikel diakibatkan kekurangan kadar luteinizing hormone (LH) akibat kekurangan nutrisi. Untuk itu terapi terbaik adalah dengan memperbaiki manajemen pakan dan dapat menggunakan sediaan hormon yang memiliki efek terhadap peningkatan kadar LH misalnya GnRH. Terapi juga dapat menggunakan kombinasi Progesteron dan PGF2α. Progesteron akan menghasilkan feedback negatif terhadap hipotalamus, saat pemberian Progesteron dihentikan siklus hormonal akan dimulai kembali. Dosis hormon untuk sapi yaitu 100 μg GnRH/ ekor, 12.5 mg/ ekor porcine-LH (pLH) (Martinez et al. 2002). Dosis hormon PGF2α untuk sapi yaitu 25mg/ ekor dan GnRH 100 μg/ ekor (Kasimanickam et al. 2009).


Repeat Breeder

Kawin berulang (repeat breeder) merupakan suatu kejadian di mana induk sapi yang memiliki siklus dan gejala birahi normal, tetapi apabila dikawinkan dengan pejantan yang subur atau diinseminasi dengan semen yang berkualitas lebih dari dua kali tidak mengalami kebuntingan (Ball dan Peter 2004).  Kawin berulang dapat terjadi pada induk yang telah beberapa kali beranak maupun pada sapi dara.
  Menurut Cuneo et al. (2006) penyebab utama terjadinya kawin berulang adalah karena kegagalan fertilisasi (pembuahan) dan kematian embrio dini. Kegagalan fertilisasi dapat disebabkan oleh kematian telur sebelum masuknya sperma, abnormalitas struktur dan fungsional telur atau sperma, abnormalitas, saluran reproduksi, kegagalan ovulasi dan kesalahan pengelolaan reproduksi. Gangguan secara struktural misalnya terjadi penyumbatan kongenital atau adanya penyakit yang menyebabkan perlekatan tuba fallopii, hidrosalping dan lain-lain. Gangguan secara fungsional misalnya akibat pengaruh hormon (sistik ovari, abnormalitas sekresi cairan uterus dan serviks).  Sedangkan kematian embrio dini meliputi kelainan genetik, penyakit, lingkungan dalam saluran reproduksi yang tidak serasi dan gangguan hormonal. Kematian embrio dini setelah IB sebagian besar terjadi sekitar 8-16 hari selama penanaman blastosit. Penyebabnya antara lain defisiensi hormon progesteron, inbreeding, kebuntingan kembar dan infeksi pada uterus. Pada sapi perah, tingginya asupan pakan yang mengandung protein degradabel (misalnya sumber pakan biji-bijian seperti jagung) dapat menjadi predisposisi kematian embrio dini karena mengakibatkan pH lingkungan uterus selama fase luteal (fase embrio akan tumbuh) menjadi rendah (Hafez 2000).
Faktor penyebab kawin berulang lainnya adalah IB, lingkungan dan genetik. Kesalahan manajemen IB meliputi waktu pelaksanaan IB yang tidak tepat, kesalahan dalam deteksi birahi, kualitas semen rendah, serta penanganan semen dan teknik inseminasi yang tidak lege-artis dapat menyebabkan sapi kembali minta kawin pada siklus birahi berikutnya. Sedangkan faktor lingkungan meliputi kelembaban dan temperatur tinggi, sanitasi kandang yang buruk dan malnutrisi.
Pada kasus di lapangan ditemukan sapi yang sudah beberapa kali (3-4 kali) di IB tidak pernah bunting. Namun tidak pernah dilakukan pemeriksaan dan penelusuran penyebabnya. Tetapi bila dilihat secara umum, kemungkinan kejadian kawin berulang di lapangan disebabkan oleh faktor kesalahan manajemen IB meliputi waktu pelaksanaan IB yang tidak tepat, kesalahan dalam deteksi birahi, dimana sering ditemukan sapi yang telah berlalu siklus estrusnya tetapi baru dilaporkan oleh peternak kepada petugas. Hal ini disebabkan selain sebagai peternak mereka juga menjadi petani yang menggarap ladang atau sawah yang terkadang jauh dari lokasi kandang ternak sehinggga perhatian dan pengawasan terhadap ternak kurang maksimal. Beberapa peternak juga belum memiliki pengetahuan yang cukup untuk mendeteksi birahi sehingga kadang ada sapi estrus yang tidak teramati. Selain itu pelaksanaan IB yang tidak lege-artis juga dapat menyebabkan sapi kembali minta kawin pada siklus birahi berikutnya dan dapat menyebabkan terjadinya infeksi pada uterus.
Penanganan yang dilakukan di lapangan biasanya dengan pemberian antibiotika Penstrep-IP  (mengandung Penisillin G-Procain 1.500.000 IU dan streptomisin sulfat 4 gram) dengan dosis 4 ml/kg BB secara intra uterine, untuk mengatasi infeksi uterus oleh bakteri. Sebaiknya dilakukan sosialisasi atau program yang mampu meningkatkan kemampuan peternak dalam mendeteksi sapi birahi.
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
            Secara umum kegiatan usaha yang dijalankan oleh KUD Mandiri Cisurupan sudah cukup baik karena sesuai dengan literatur. Namun catatan inseminasi dan pemeriksaan kebuntingan belum digunakan dengan baik sehingga tidak ada evaluasi keberhasilan dan tindakan apabila terjadi kegagalan inseminasi. Pemeriksaan kebuntingan tidak dilakukan berdasarkan data inseminasi tetapi berdasarkan permintaan peternak. Persediaan obat-obatan masih belum lengkap dan tidak ada dokter hewan yang bertugas di lapangan.

Saran
Adapun saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut :
1.      Perlunya tenaga medis dokter hewan di lapangan yang langsung berhubungan dengan peternak.
2.      Perlunya kajian tentang penyebab ketidak berhasilan inseminasi dan perlu dicari penyebabnya sehingga akan didapatkan solusi yang tepat.
3.      Pelatihan berkesinambungan kepada inseminator dan paramedis perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan.
4.      Pelaksananaan dan penerapan program rekording sapi perah meliputi inseminasi dan pemeriksaan kebuntingan yang teratur.
5.      Perlunya peningkatan kesadaran peternak tentang kesehatan sapi dan kaitanya terhadap performan reproduksi dan produksi susu.









DAFTAR PUSTAKA

Ball PJH, Peters AR. 2004. Reproduction in Cattle. 3rd ed. Great Britain: Blackwell Publishing.
Cuneo, CS Card, EJ Bicknel. 2006. Disease of Beef Cattle Associated with Post-calving and Breeding. http://ag.arizona.edu/AREC/pubs/rmg/4%20animalcare&healthmaintenance/23%20diseasepostcalving93.pdf#search=pyometra%cattle
de Vries, A, C Steenholdt, and C A Risco. 2005. Pregnancy rates and milk production in natural service and artificially inseminated dairy herds in Florida and Georgia.  J. Dairy Sci.  88:948–956.
Fricke PM. 2002.. Di dalam Fricke PM. 2008. When to Pregnancy Check Dairy Cattle and Why. Department of Dairy Science University of Wisconsin, Madison.http://www.extension.org/pages/When_to_Pregnancy_Check_Dairy_Cattle_and_Why [26 februari 2010].
Hanafi  EM, Ahmed WM,  El Moez S I, Khadrawy HHE dan Hamed AR. 2008. Effect of Clinical Endometritis on Ovarian Activity and Oxidative Stress Status in  Egyptian Buffalo-Cows. American-Eurasian J. Agric. & Environ. Sci., 4 (5): 530-536, 2008 ISSN 1818-6769 © IDOSI Publications, 2008.
Gray HG dan Varner MA. 2009. Signs of Estrus and Improving Detection of Estrus in Cattle. West Virginia University, USA. http://www.wvu.edu~agextenforglvstDairydirm25.pdf [2 Maret 2010]
Gumen, A., R.R. Rastani, R.R. Grummer, and M.C. Wiltbank. 2005. Reduced dry periods and varying prepartum diets alter postpartum ovulation and reproductive measures. J. Dairy Sci. 88:2401-2411.
Gumen, A. J.N. Guenther, and M.C. Wiltbank. 2003. Follicular size and response to Ovsynch versus detection of estrus in anovular and ovular lactating dairy cows. J. Dairy Sci. 86:3184-3194.
Gumen, A., and M.C. Wiltbank. 2002. An alteration in the hypothalamic action of estradiol due to lack of progesterone exposure can cause follicular cysts in cattle. Biol. Reprod. 66:1689-1695.
Hafez B and ESE Hafez. 2000. Reproduction in Farm animals, 7th ed. Lippincott Williams and Wilkins, USA.
Howard, JL (ed). 1981. Current Veterinary Therapy. W.B. Saunders. Philadelphia
Kasimanickam R, Day ML, Rudolf JS, Hall JB dan Whittier WD. 2009. Two doses of Prostaglandin Improve Pregnancy Rates to Timed-AI in a 5-day Progesterone-based Synchronization Protocol in Beef Cows. Theriogenology Volume 71, Issue 5, 15 march 2009, Pages 762-767. [ABSTRAK].
Laporan Tahunan RAT, 2008. KUD Mandiri Cisurupan 2008. Garut
LeBlanc SJ, Duffield TF, Leslie KE, Bateman KG, Keefe GP, Walton JS dan Johnson WH. 2002. The Effect of Treatment of Clinical Endometritis on Reproductive Performance in Dairy Cows. Journal of Dairy Science Vol. 85 No. 9 2237-2249.
Manspeaker. 2006. Retained Placenta. Dairy Integrated Reproductive Management. http://www.wvu.edu/~exten/infores/pubs/livepoul/dirm21.pdf.
Martinez MF, Kastelic JP, Adams GP dan Mapletoft. 2002. The use of a progesterone-releasing device (CIDR-B) or melengestrol acetate with GnRH, LH, or estradiol benzoate for fixed-time AI in beef heifers. J Anim Sci 2002. 80:1746-175.
Moreira F dan Hansen PJ. 2005. Pregnancy Diagnosis in the Cow. Dept. of Animal Sciences, University of Florida, Florida-USA. http://www.ufl.edu/ [26 Februari 2010].
Manan Dj. 2001. Ilmu Kebidanan pada Ternak. Direktorat Pembinaan  Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat DIKTI, Jakarta.
Nebel RL, Walker WL, Mc Gilliard ML, Allen CH dan Heckman GS. 1994. Timing of Artificial Insemination of Dairy Cows: Fixed Time Once Daily Versus Morning and Afternoon. Journal of Dairy Science Vol. 77, No. 10, 1994.
O'Connor M dan Peters JL. 2008. Review Artificial Insemination Technique. Research support technologist dairy Science. PENNSTATE University, USA.
Rahadi R. 2009. Sejarah Perkembangan Inseminasi Buatan. http://ilmuternak.wordpress.com/reproduksi-ternak/sejarah-dan-manfaat-inseminasi-buatan/.[2 Maret 2010]
Salisbury GW, Vandemark NL, Djanuar R. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi. Yogyakarta. Gajah Mada University Press.

Smith BI, Donovan GA, Risco C, Littell R, Young C, Stanker LH, dan J Elliott. 1998. Comparison of Various Antibiotic Treatments for Cows Diagnosed with Toxic Puerperal Metritis.  Journal of Dairy Science Vol. 81 No. 6 1555-1562 © 1998 by American Dairy Science Association ® [ABSTRAK]

Subronto dan Tjahajati I. 2001. Ilmu Penyakit Ternak. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Tenhagen, B.A., C. Vogel, M. Drillich, G. Thiele, and W. Heuwieser. 2003. Influence of stage of lactation and milk production on conception rates after timed artificial insemination following Ovsynch. Theriogenology 60:1527-1537.
Wiltbank, M. C., A. Gumen, and R. Sartori. 2002. Physiological classification of anovulatory conditions in cattle. Theriogenology 57:21-52

No comments: