PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Manajemen pemeliharaan ternak yang baik meliputi pakan, kandang,
kesehatan ternak dan sumber daya manusia peternak (Arianto 2012). Manajemen
yang baik menunjukkan adanya keseimbangan perhatian terhadap aspek pakan,
kandang, sapi dan kesehatan sapi (Anonim 2014). Kesehatan ternak merupakan aspek penting dalam usaha
pengembangbiakan peternakan (Subronto
2007). Peningkatan populasi ternak
termasuk sapi, menuntut penyediaan sumber Bibit, baik sebagai ternak Bibit
maupun bakalan untuk penggemukan (Tolihere 1985).
Untuk meningkatkan populasi ternak sapi diperlukan peningkatan efisiensi
reproduksi dan fertilitas ternak (Havez 2000). Melihat
pentingnya aspek kesehatan hewan pada manajemen pemelihraan ternak maka peran
tenaga medic veteriner dalam usaha mengobati penyakit yang muncul menjadi hal
yang harus diperhatikan. Kesehatan hewan meliputi usaha pencegahan penyakit dan
pengobatan penyakit yang muncul. Beberapa kasus penyakit yang banyak muncul
pada pemeliharaan sapi jantan di UPTD BPBPTDK DIY yaitu diare. Kasus diare bisa
berakibat fatal karena dapat menimbulkan kematian dan kerugian ekonomi. Bertitik tolak dari hal tersebut, maka
dilakukan kajian yang bertujuan untuk mengetahui apa itu diare, cara diagnosa, terapi
dan pencegahan. Kajian ini membahas
kasus diare yang ditemukan di Unit
Pengembangan Produksi semen beku UPTD BPBPTDK DIY tahun 2013.
Tujuan dan Manfaat
Kajian ini
bertujuan mengetahui bagaimana gambaran diare di unit
Pengembangan Produksi Semen Beku UPTD BPBPTDK DIY tahun 2013. Dari kajian ini diharapkan ada penanganan
yang lebih baik untuk kasus diare di waktu yang akan datang dan dapat
mengurangi angka kasus diare yang muncul
Materi Dan Metode
Kajian kasus diare di unit Pengembangan Produksi Semen Beku UPTD
BPBPTDK DIY dilakukan dengan menganalisa kasus diare yang terjadi tahun 2013.
Kaus diare dibuat table khusus meliputi kasus perekor dan kasus perbulan. Data
dianalisa dengan Program Microsoft excel 2003.
Materi
Materi penelitian yang digunakan adalah data kasus penyakit diare
di unit Pengembangan Produksi Semen Beku UPTD BPBPTDK DIY tahun 2013
Bahan dan Alat
Kertas kerja dan Laptop
Metode
Metode kajian ini mengambil data rekam medis
dan pengobatan sapi pejantan pada unit
Pengembangan Produksi Semen Beku UPTD BPBPTDK DIY tahun 2013, kemudian dibahas berdasarkan literatur atau
sumber pustaka baik buku, jurnal atau sumber dari internet.
Analisis Data
Data yang ada dibuat table kemudian dianalisis dengan Program
Komputer Microsoft excel 2003 yang meliputi data kasus diare perbulan dan tiap ekor selama kurun waktu
2013.
LANDASAN TEORI
PROFIL
UPTD BPBPTDK
Unit
Pelaksana Teknis Dinas Balai Pengembangan Bibit, Pakan Ternak dan Diagnostik
Kehewanan (UPTD BPBPTDK) merupakan salah satu unit kerja dari Dinas Pertanian
Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta (UPTD BPBPTDK DIY) yang mempunyai
tugas melaksanakan sebagian tugas Dinas Pertanian di bidang pengembangan bibit,
pakan ternak dan diagnostik kehewanan. UPTD BPBPTDK mempunyai fungsi:
penyusunan program Balai; pengembangan semen; pengembangan pakan ternak;
pengembangan ternak bibit; pelaksanaan diagnosa dan surveilans; pengendalian
mutu produk asal hewan; penyelenggaraan ketatausahaan; pelaksanaan evaluasi dan
penyusunan laporan program Balai; pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh
atasan sesuai tugas dan fungsinya (Anonim 2014b). Susunan
UPTD BPBPTDK DIY meliputi
- Kepala Balai;
- Subbagian Tata Usaha yang mempunyai tugas melaksanakan kearsipan, keuangan, kepegawaian, pengelolaan barang, kerumahtanggaan, kehumasan, kepustakaan, serta penyusunan program dan laporan kinerja;
- Seksi Pengembangan Semen, Ternak Bibit dan Pakan Ternak yang mempunyai tugas melaksanakan pengembangan semen, ternak bibit dan pakan ternak;
- Seksi Diagnostik Kehewanan yang mempunyai tugas melaksanakan diagnosa dan surveilans serta pengendalian mutu produk asal hewan;
- Kelompok Jabatan Fungsional tertentu yang meliputi : Medik Veteriner, Pengawas Mutu Bibit, Paramedik Veteriner dan Pengawas Mutu Pakan.
Unit Pengembangan Semen Beku bertugas memproduksi semen beku
untuk memenuhi sebagain kebutuhan di Yogyakarta. Tugas ini didukung dengan
adanya ternak sapi jantan yang berjumlah 23 ekor dan 1 ekor sapi betina per 1
Januari 2014.
Rincian ternak milik Unit Pengembangan Semen Beku UPTD
BPBPTDK DIY per 1 Januari – Desember 2013 pada table 1.
No
|
Kode
|
Nama Sapi
|
Jenis Kelamin
|
Ras
|
1
|
60511
|
Sembada
|
Jantan
|
Simmental
|
2
|
60509
|
Serang
|
Jantan
|
Simmental
|
3
|
60918
|
Esmond
|
Jantan
|
Simmental
|
4
|
60912
|
Sergio
|
Jantan
|
Simmental
|
5
|
60917
|
Egan
|
Jantan
|
Simmental
|
6
|
21003
|
Orlando
|
Jantan
|
PO
|
7
|
21004
|
Ontoseno
|
Jantan
|
PO
|
8
|
80605
|
Lorenzo
|
Jantan
|
Limousin
|
9
|
80906
|
Lucky
|
Jantan
|
Limousin
|
10
|
60916
|
Eyser
|
Jantan
|
Simmental
|
11
|
61013
|
Suryo
|
Jantan
|
Simmental
|
12
|
61014
|
Samodro
|
Jantan
|
Simmental
|
13
|
61015
|
Satrio
|
Jantan
|
Simmental
|
14
|
61120
|
Aster Conan
|
Jantan
|
Simmental
|
15
|
21101
|
Lion
|
Jantan
|
PO
|
16
|
21102
|
Java
|
Jantan
|
PO
|
17
|
61919
|
Ekka
|
Jantan
|
Simmental
|
18
|
0541T
|
Luna
|
Betina
|
Limousin
|
Tabel 1.
Populasi Sapi Jantan Unit Pengembangan Semen Beku UPTD BPBPTDK DIY.
DIARE
Diare
merupakan sebuah kata umum yang digunakan untuk menggambarkan keadaan hewan
yang mengalami sakit mencret. Diare
pada ternak khususnya sapi/kambing bukan merupakan sebuah penyakit, tapi lebih
merupakan tanda atau gejala klinis dari sebuah penyakit yang lebih komplek yang
bisa disebabkan oleh berbagai hal. Diare pada ternak, seperti pada manusia,
dapat terjadi ketika pergerakan cairan tubuh dalam sistem pencernaan mengalami
gangguan. Biasanya selalu berakibat kehilangan cairan atau dehidrasi. Cairan
tubuh yang keluar ini juga membawa garam-garam mineral atau elektrolit.
Kehilangan cairan ini akan merubah keseimbangan kimiawi tubuh, yang pada
akhirnya akan menimbulkan stress dan depresi dan dapat berujung pada kematian.
Rehidrasi, sebuah terapi pada ternak dengan memberikan air dan suplemen
elektrolit yang dapat membantu meredakan efek diare dan memulihkan keseimbangan
tersebut. Secara umum, diare dibagi dua kategori, diare yang dibebabkan oleh
ketidakseimbangan nutrisi (non-infeksius) dan diare yang disebabkan oleh
infeksi mikroorganisme (Anonim 2014).
Etiologi Diare
- Diare Non Infeksius
Diare non
infeksius biasanya disebabkan oleh perubahan (yang mendadak) dari program
pemberian pakan. Bisa juga disebabkan karena
keracunan bahan kimia yang berbahaya. Atau bisa juga terjadi ketika
pemberian susu buatan (CMR-Calf Milk Replacement) tidak sesuai takaran, terlalu
dingin atau bahkan basi. Meskipun seringkali tidak sangat berbahaya dan tidak
sampai menyebabkan kematian, diare non-infeksi ini (terutama pada hewan
muda/pedet) dapat dengan cepat melemahkan tubuh yang pada gilirannya dapat
menyebabkan ternak rentan terkena diare infeksi atau penyakit lain yang lebih
parah (Subronto 2007)
- Diare Infeksius
Diare
jenis ini merupakan masalah terbesar terutama pada hewan pedet. Bisa disebabkan
oleh infeksi virus, bakteri atau protozoa (Smith 2002). Oleh
sebab itu, identifikasi terhadap sumber penyebab diare merupakan sebuah langkah
penting dalam membuat program pencegahan diare.
i.
Diare karena infeksi bakteri
Bakteri
ini menghasilkan semacam protein yang bersifat racun yang dapat menganggu
dinding usus. Ternak memberi reaksi terhadap racun ini dengan memompa air dalam
jumlah banyak ke dalam usus dengan tujuan untuk membilas atau menyiram racun
ini. Beberapa bakteri yang bertanggung jawab terhadap infeksi ini adalah
berasal dari jenis E. coli, Salmonella, dan Clostridium.
ii.
Diare karena infeksi virus
Virus
menyerang lapisan penyerapan. Virus masuk kedalam sel dan menggunakan bahan
bahan sel tersebut untuk reproduksinya. Ketika sel yang menjadi tempat berkembang
biak penuh oleh virus, sel tersebut pecah dan mengeluarkan virus-virus baru
untuk menyerang sel lain lebih banyak. Infeksi yang disebabkan virus
menyebabkan pedet menjadi lebih rentan terhadap serangan infeksi bakteri lain.
Calvin et all. (2008) menyatakan Rotavirus
dan Coronavirus memiliki cara kerja yang sama dan merupakan “tertuduh” utama
pada kasus diare pada pedet. Kedua organisme tersebut banyak terdapat pada
hewan dewasa dan paparan pada hewan hewan muda menjadi sangat umum. Gejala yang
ditimbulkan adalah mencret parah, hampir tidak ada demam, depresi dan dehidrasi
hebat. Seringkali terjadi pengeluaran saliva (air liur) dan sering mengejan.
Biasanya terjadi sampai pada 10 - 14 hari sejak kelahiran, khususnya 10 hari
pertama. Pada kasus ini antibiotik tidak efektif terhadap virus, tapi dapat
membantu melawan infeksi bakterinya.
iii.
Diare karena infeksi Protozoa
Organisme
(Coccidia & Cryptosporidia) ini masuk kedalam tubuh melalui makanan dan air
yang terkontaminasi dan dapat hidup dalam kondisi dormant (suri) di tanah dan
kotoran ternak selama 1 tahun. Ketika sampai di dalam usus, telur (oocyst) dari
protozoa ini menetas dan berkembang biak. Menempel dan masuk ke dalam jaringan
sel pada lapisan usus, menghambat pencernaan dan penyerapan makanan. Gejala
infeksi subklinis kronis tidak begitu jelas, biasanya ternak menderita dan
mengurangi konsumsi pakan sehingga pertumbuhan terhambat. Infeksi akut
menyebabkan diare (terkadang disertai darah), depresi, kehilangan berat badan
dan dehidrasi. Tapi biasanya pedet tetap makan. Coccidia memiliki siklus hidup
21 hari. Sehingga pada pedet usia dibawah itu (18 - 19 hari) jarang yang
terinfeksi. Cryptosporidia biasanya ditemukan pada pedet usia 7 - 21 hari.
Secara umum menginfeksi bersama rotavirus, coronavirus dan E. coli.
Epidemiologi
dan Transmisi Diare
Enteropatogen terkait dengan diare biasanya ditemukan dalam feses sapi
yang sehat; apakah infeksi usus menyebabkan diare tergantung pada sejumlah
faktor penentu, termasuk perbedaan virulensi strain yang berbeda dari patogen
dan kehadiran lebih dari satu patogen. Imunitas sapi berpengaruh terhadap efek
dari adanya enteropatogen. Semakin baik imunitas maka sapi tidak akan mengalami
diare. Sapi dengan imunitas sangat rentan terhadap infeksi enteropatogen dan
penyakit dapat menjadi parah dan seringkali fatal (Anonim 2014).
Perkembangan infeksi, tingkat keparahan lesi yang dihasilkan, dan tingkat
keparahan diare dapat dipengaruhi oleh sistem imun. Imunoglobulin bertindak
langsung pada patogen dalam lumen usus, karena sejumlah besar imunoglobulin
akan disekresikan ke dalam usus, terutama ketika konsentrasi immunoglobulin
tinggi. Kurangnya antibodi spesifik terhadap patogen tertentu, dan penggunaan
vaksin tertentu, dapat memodulasi pengaruh ini. Stres yang disebabkan oleh
lingkungan yang buruk, perlindungan dari cuaca, atau makanan kurang atau tidak
tepat juga meningkatkan risiko penyakit (Anonim 2014).
Sapi dewasa yang sehat dapat menjadi pembawa dan secara berkala
mengeluarkan organisme entero patogen dalam feses. Hal ini dapat menginfeksi
sapi lain sehingga menyebar secara luas. Penularan terjadi melalui kontak
fecal-oral, aerosol kotoran dan aerosol pernapasan (Anonim 2014).
Patogenesis
Diare pada ruminansia biasanya berhubungan dengan penyakit usus kecil dan
dapat disebabkan oleh hipersekresi atau malabsorpsi. Diare hipersekresi terjadi
ketika jumlah abnormal cairan disekresi ke dalam usus, melebihi kapasitas
resorptive mukosa. Pada diare malabsorbsi, kapasitas mukosa untuk menyerap
cairan dan nutrisi terganggu sehingga cairan yang masuk lebih banyak daripada
yang diserap. Malabsorbsi terjadi karena atrofi vili usus, di mana hilangnya
enterosit mature pada ujung vili sehingga panjang vili berkurang (penurunan
luas permukaan untuk penyerapan) dan hilangnya enzim pencernaan. Luas dan
distribusi atrofi vili bervariasi berdasar patogen yang berbeda dan dapat
menjelaskan variasi tingkat keparahan penyakit klinis. Diare malabsorbsi dapat
diperburuk fermentasi nutrisi yang biasanya telah diserap usus kecil. Hasil
fermentasi ini terutama asam laktat yang akan menarik air ke dalam lumen usus
secara osmotik yang berkontribusi pada keparahan diare (Anonim 2014 dan Smith
2002).
Peradangan berkontribusi terhadap patofisiologi diare pada sebagian besar
infeksi usus, dan mediator peradangan dapat mempengaruhi fluks ion dalam usus.
Peradangan juga menyebabkan kerusakan pembuluh darah dan limfatik dan kerusakan
struktural unit crypt-villus. Bentuk yang paling menular diare memiliki
hipersekresi, inflamasi, dan malabsorbsi komponen, meskipun satu biasanya
mendominasi. Ini menyebabkan kekurangan air, natrium, kalium, dan bikarbonat;
hipovolemia, hiponatremia, asidosis, dan azotemia prerenal (Anonim 2014).
E coli enterotoksigenik menghasilkan enterotoksin Sta, yang merangsang
hipersekresi yang mengaktifkan guanylate cyclase dan dengan menginduksi sekresi
natrium dan klorin. Natrium-glukosa sistem kotranspor terikat membran tetap
fungsional. Salmonella juga menguraikan enterotoxin. Peradangan, menyebabkan
nekrosis enterocyte, infiltrasi inflamasi submukosa dan atrofi vili, juga
merupakan komponen utama patofisiologi diare yang dihasilkan oleh salmonella,
serta diare yang dihasilkan oleh enteropathogenic E coli dan oleh Clostridium
perfringens toxigenic. Infeksi dengan verotoxin memproduksi E coli
enteropathogenic mengakibatkan akumulasi cairan dalam usus besar dan kerusakan
pada mukosa usus besar, dengan edema, perdarahan, dan erosi dan ulserasi dari
mukosa, yang menghasilkan darah dan lendir di dalam lumen (Smith 2002).
Virus biasanya menghasilkan diare malabsorbsi dengan menghancurkan
sel-sel serap mukosa, sehingga memperpendek villi usus. Mekanisme
Cryptosporidia menghasilkan diare tidak sepenuhnya dipahami, tetapi tampaknya
memiliki kedua komponen malabsorbsi dan inflamasi.
Pergantian susu pada pedet diare oleh 2 mekanisme, baik yang berhubungan
dengan malabsorpsi. Sayuran (terutama kedelai) produk yang umum digunakan
sebagai sumber protein dalam pembuatan susu pengganti. Tergantung pada tingkat
perbaikan, produk tersebut mungkin mengandung karbohidrat yang dicerna sapi
muda. Karbohidrat tersebut tidak diserap di usus kecil dan dapat menyebabkan
diare melalui fermentasi kolon. Selain itu, sebagian pedet kurang dari 3 minggu
memiliki reaksi alergi terhadap protein kedelai yang mengakibatkan atrofi vili,
yang menyebabkan diare malabsorbsi.
Gejala Klinis
Gejala klinis utama diare adalah dehidrasi, lemah, dan kematian dalam
waktu satu sampai beberapa hari onset. Diare karena enterotoksigenik
(K99-bearing) E coli terlihat pedet berumur
3-5 hari. Namun, kerentanan dapat diperberat dengan adanya patogen lain. Pedet
mungkin kehilangan > 12% dari berat badan dalam cairan, dan syok hipovolemik
dan kematian dapat terjadi dalam 12-24 jam. Suhu tubuh dapat ditingkatkan
tetapi umumnya normal atau di bawah normal. Jika terapi cairan dan elektrolit
diberikan lebih awal akan memberikan respons yang baik (Anonim 2014).
Diare akibat Salmonella spp
biasanya tidak terlihat pedet <14 ada="" adalah="" berbau="" berlebihan.="" busuk="" dan="" darah="" dari="" demam="" dengan="" diare.="" ditandai="" feses="" fibrin="" hal="" hari.="" ini="" jumlah="" koma="" lendir="" manifestasi="" mengandung="" menjadi="" menonjol="" meskipun="" salmonellosis="" septicemia="" serta="" span="" style="mso-spacerun: yes;" tinggi="" yang=""> 14>Kematian
biasanya dari septicemia bukan dari syok hipovolemik. Pedet dengan
salmonellosis biasanya kehilangan berat badan dengan cepat dan sering mati
meskipun terapi yang kuat. Hemorrhagic enterotoxemia karena C perfringens tipe
B atau C ditandai dengan onset depresi akut, kelemahan, diare berdarah, kolik dan
kematian dalam beberapa jam (Anonim 2014).
Diare akibat rotavirus, coronavirus, dan virus lain yang biasanya
terlihat pada pedet berumur 5-15 hari, tetapi dapat mempengaruhi pedet untuk beberapa bulan. Anak sapi yang terkena akan
tertekan dan sering terus menghisap atau minum susu. Kotoran yang tebal,
lembut-cairan dan sering mengandung sejumlah besar lendir. Diare biasanya
berlangsung selama 3 sampai beberapa hari, dengan beberapa kasus coronaviral
diare menjadi kronis. Kasus diare virus oleh patogen yang kompleks sering tidak
membaik meskipun beberapa hari diberi terapi cairan dan elektrolit serta
dukungan nutrisi yang memadai.
Kriptosporidiosis (lihat kriptosporidiosis) terlihat pada anak lembu
berumur 5-35 hari, tetapi paling sering pada minggu kedua. Hal ini ditandai
dengan diare persisten yang tidak merespon terhadap terapi. Diare karena
Cryptosporidium spp sering ringan dan terbatas, meskipun beratnya mungkin
berhubungan dengan kekuatan umum pedet dan intensitas paparan organisme. Kombinasi infeksi
Cryptosporidia, rotavirus, dan coronavirus yang umum dan mengakibatkan diare
persisten sering ditandai dengan kekurusan dan kematian. Kematian dari
hipoglikemia juga terjadi karena cryptosporidiosis pedet 3-4 minggu yang telah
pulih dari diare tetapi masih kurus. Kematian sering terjadi selama serangan
cuaca dingin dan lebih mungkin terjadi pada peternakan yang mengurangi jumlah
susu pedet selama periode diare.
Diagnosis
Kelly (1984) menyatakan sulit untuk membuat diagnosis etiologi pasti
hanya berdasarkan temuan klinis. Namun, sejarah, umur hewan, dan tanda-tanda
klinis dapat memberikan diagnosis sementara. Sampel feses dapat diajukan untuk
isolasi dan karakterisasi enteropatogen umum. Sampel harus diambil dari
beberapa anak sapi yang tidak diobati pada tahap awal diare. Teknik khusus
diperlukan untuk demonstrasi virus, Cryptosporidia, dan K99-bearing E coli.
Penafsiran mikrobiologi feses bisa sulit karena infeksi campuran dan karena
enteropatogen biasa hadir dalam feses sapi yang sehat.
Informasi diagnostik terbaik biasanya diperoleh dari nekropsi ternak akut
yang mati. Hal ini memungkinkan pemeriksaan mukosa usus untuk diagnostik lesi
dan untuk mengetahui enteropatogen seperti Cryptosporidia. Ini mungkin
satu-satunya cara bahwa penyakit seperti yang terkait dengan melampirkan dan
menonjolkan strain E coli dapat didiagnosis. Nilai diagnostik dari sebuah
nekropsi berkurang dengan cepat dengan waktu setelah kematian; lesi yang
penting dapat hilang dalam beberapa menit akibat autolisis.
Pemeriksaan laboratorium lengkap bisa mahal, dan juga telah menyatakan
bahwa ada sedikit nilai dalam pengeluaran uang dalam jumlah besar pada
diagnosis kecuali ada prosedur pengendalian khusus yang dapat diimplementasikan
berdasarkan informasi yang diperoleh. Dalam semua kasus, informasi mengenai
total konsumsi susu atau pengganti susu harus diperoleh. Imunitas nonspesifik
harus dinilai dengan menentukan konsentrasi imunoglobulin dan vitamin A dalam
serum.
Terapi
Banyak faktor yang terlibat dalam ketahanan terhadap penyakit tidak
spesifik; dengan demikian, langkah-langkah pencegahan yang penting dapat
diambil dan terapi dapat dimulai sebelum diagnosis etiologi telah ditetapkan.
Perawatan termasuk cairan dan elektrolit pengganti, perubahan diet, terapi
antimikroba dan immunoglobulin, dan penggunaan obat antidiare dan adsorben.
Terapi cairan dan elektrolit yang paling penting dan harus sesegera
mungkin terlepas dari apakah bukti klinis dehidrasi telah terlihat (tanda-tanda
klinis dehidrasi tidak jelas sampai sapi telah kehilangan setidaknya 6% dari
berat tubuhnya dalam cairan). Sapi yang masih mampu berdiri dan yang mampu makan
dan minum sering dapat diobati dengan elektrolit oral saja. Cairan untuk
rehidrasi oral harus mempromosikan kotranspor natrium dengan glukosa dan asam
amino dan harus mengandung natrium, glukosa, glisin atau alanin, kalium, dan
bikarbonat atau sitrat baik atau asetat sebagai prekursor bikarbonat. Beberapa
persiapan komersial yang tersedia. Ini dapat diberikan oleh botol puting susu
atau, jika perlu, oleh tabung perut. Solusi harus digunakan secara bebas sampai
hewan tersebut direhidrasi.
Sapi yang ambruk, lemah, dan menunjukkan bukti kehilangan air ≥ 8% dari
berat badan mereka memerlukan cairan IV dan terapi elektrolit. Sapi ini
biasanya mengalami asidosis dan defisit cairan dan dapat diberi dengan pemberian
(13 g / L) larutan isotonik natrium bikarbonat, idealnya pada 100 mL / kg
selama 4-6 jam. Karena betis sering hipoglikemik, penambahan 25-50 g dekstrosa
ke larutan bikarbonat sering menguntungkan. Solusi bikarbonat harus diikuti
dengan terapi cairan IV kontinyu dengan larutan elektrolit fisiologis seimbang
diberikan pada 5-8 mL / kg / jam untuk 20 jam berikutnya; tingkat yang lebih
tinggi mungkin diperlukan tergantung pada tingkat keparahan diare. Larutan
elektrolit oral mungkin harus digunakan bersamaan dengan terapi IV.
Penggunaan antimikroba tidak didukung oleh sebagian besar uji klinis dan
tidak ditunjukkan dalam diare yang disebabkan oleh virus atau protozoa.
Antibiotik mungkin nilai dalam mengobati diare yang berhubungan dengan
enterotoxigenic atau melampirkan dan menonjolkan E coli. Rute administrasi
harus oral, dan pilihan berdasarkan uji sensitivitas. Bila penyakit septicemia,
karena pengalihan memadai imunoglobulin colostral, diduga sebagai komplikasi,
antibiotik parenteral diberikan juga ditunjukkan. Salmonellosis harus ditangani
dengan antimikroba parenteral.
Beberapa obat, seperti flunixin meglumine, indometasin, loperamide,
difenoksilat, dan bismuth subsalicylate, memiliki antisekresi dan aktivitas
anti-inflamasi dan digunakan dalam pengobatan, tetapi tidak ada uji klinis dari
keberhasilan. Gel usus dan adsorben,
seperti kaolin dan pektin, yang digunakan secara umum, tetapi efeknya untuk
meningkatkan konsistensi tinja tetapi tidak mengurangi hilangnya air dan ion.
Pencegahan dan
Pengendalian
Subronto (2007) mengatakan diare pada sapi bersifat kompleks sehingga tidak
realistis untuk mengharapkan kontrol pencegahan total. Insiden penyakit klinis
dan tingkat kematian kasus tergantung pada keseimbangan antara tingkat paparan
agen infeksi dan imunitas. Tiga prinsip luas berlaku di semua ternak: 1)
tingkat paparan sapi harus dikurangi dengan mengisolasi hewan yang sakit atau
dengan memindahkan sapi di lokasi yang terpisah dan dengan mempraktikkan
kebersihan umum yang baik; 2) resistensi spesifik harus dimaksimalkan dengan
memberikan nutrisi yang baik untuk sapi; dan 3) resistensi spesifik dari pedet
yang baru lahir harus ditingkatkan dengan vaksinasi. Sebagian besar pedet terlambat mengisap
kolostrum sehingga tidak mendapatkan jumlah immunoglobulin yang cukup, konsumsi
volume kolostrum, atau konsumsi kolostrum konsentrasi imunoglobulin rendah.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebuah diagnosa ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan
fisik ini meliputi anamnesa, status preasent, pemeriksaan fisik lanjutan dan
kadang didukung oleh hasil laboratorium (Kelly 1984). Diagnosa suatu penyakit
harus mempelajari banyak aspek. Beberapa aspek tersebut antara lain kausa,
patogenesa dan epidemiologis penyakit (Kelly 1984). Diagnosa yang baik akan membantu
ketepatan terapi.
Hasil pengolahan data rekam medis dan pengobatan pada Unit Pengembangan
Semen Beku UPTD BPBPTDK DIY tahun 2013 menunjukan adanya kasus diare yang
muncul pada Tabel 2.
Bulan
|
Jumlah Kasus Diare
|
Persentase (%)
|
JANUARI
|
4
|
7,5
|
FEBRUARI
|
5
|
9,4
|
MARET
|
3
|
5,7
|
APRIL
|
6
|
11,3
|
MEI
|
6
|
11,3
|
JUNI
|
6
|
11,3
|
JULI
|
4
|
7,5
|
AGUSTUS
|
4
|
7,5
|
SEPTEMBER
|
7
|
13,2
|
OKTOBER
|
3
|
5,7
|
NOVEMBER
|
5
|
9,4
|
Total
|
53
|
100,0
|
Tabel 2.
Kasus diare pada Unit Pengembangan Semen Beku UPTD BPBPTDK tahun 2013.
Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa pada tahun 2013 jumlah kasus diare pada
Unit Pengembangan Semen Beku UPTD BPBPTDK DIY adalah sebanyak 53 kasus dengan
kasus tertinggi pada bulan september dan kasus terendah pada bulan Maret dan
Oktober. Sedangkan untuk sebaran individu yang mengalami diare dapat dilihat
pada grafik 1. Dari grafik tersebut terlihat masing masing individu yang
terkena diare yaitu Esmond 4 kali, Ontoseno 5 kali, Lorenzo 11 kali, Satrio 11
kali, Aster 6 kali dan Luna 16 kali. Dari data grafik 1 dapat diperoleh beberapa
angka antara lain persentase sakit diare pada Unit Pengembangan Semen Beku UPTD
BPBPTDK DIY yaitu 33.33 % dari populasi (6:18).
Kasus cenderung tinggi pada bulan April Mei Juni ini kemungkinan karena
adanya penggantian jenis pakan dari rumput menjadi tebon jagung karena pada
bulan ini merupakan puncak musim kemarau. Meskipun analisis ini masih kecil
akurasinya. Pada beberapa literatur disampaikan bahwa kasus diare cenderung
tinggi pada awal sampai puncak musim penghujan karena pada masa ini kemungkinan
mikroba berkembang dengan pesat dibandingkan waktu yang lain (Smith 2002).
Kasus diare terbanyak dialami sapi betina Luna. Hal ini terjadi mungkin
karena pada Unit Pengembangan Semen Beku sapi betina tidak menjadi prioritas
dalam penanganan setiap harinya. Kondisi ini juga didukung dari kondisi kandang
yang pembersihannya tidak serutin pada sapi jantan.
Gejala klinis yang muncul secara umum antara lain demam, lemas dan feses encer. Pada beberapa kasus yang ada
belum ditemukan bahwa diare yang terjadi menyebabkan kematian. Kasus kasus yang
muncul segera ditangani dengan pemberian makan dan minum yang cukup serta
terapi obat-obatan dan vitamin. Beberapa pilihan obat yang diberikan antara
lain antibiotik, analgesik, antipiretik, vitamin dan mineral.
Terapi yang efektif dan efisien memerlukan diagnosa yang tepat. Diagnosa
yang tepat perlu benar-benar memperehatikan dan mempertimbangkan banyak aspek.
Pencegahan yang baik akan mengurangi banyak biaya dan terapi. Sehingga faktor
higiene dan sanitasi harus menjadi perhatian utama.
Antibiotik berspektrum luas cenderung dipilih karena diharapkan mampu
mengeliminasi mikroba yang banyak dan belum diketahui spesifikasinya.
Antibiotik bersifat long acting juga dipilih karena diharapkan dengan pemberian
obat yang dalam jangka panjang (tidak setiap hari) sudah mampu mengatasi diare
yang muncul. Antisipasi pemberian analgesik dan antipiretik diharapkan mampu
mendukung proses penyembuhan.
Grafik 1. Kasus diare per ekor pada
unit Pengembangan Semen Beku UPTD BPBPTDK DIY tahun 2013.
Hasil rekam medis dan pengobatan ternak di Unit Pengembangan Semen Beku
UPTD BPBPTDK DIY menunjukan bahwa ternak yang menderita diare dapat segera
sembuh dalam waktu yang bervariasi antara 3-7 hari. Kadang-kadang sapi yang
sama kembali terserang diare dalam kurun waktu tertentu. Pengamatan yang rutin
dan jeli serta terapi yang cepat akan mempercepat proses penyembuhan.
Karena sifat kompleks diare pada sapi, maka tidak realistis untuk
mengharapkan kontrol pencegahan total. Insiden penyakit klinis dan tingkat
kematian kasus tergantung pada keseimbangan antara tingkat paparan agen infeksi
dan imunitas. Tiga prinsip luas berlaku di semua ternak: 1) tingkat paparan
sapi harus dikurangi dengan mengisolasi hewan yang sakit atau dengan memindahkan
sapi di lokasi yang terpisah dan dengan mempraktikkan kebersihan umum yang
baik; 2) resistensi spesifik harus dimaksimalkan dengan memberikan nutrisi yang
baik untuk sapi; dan 3) resistensi spesifik dari pedet yang baru lahir harus
ditingkatkan dengan vaksinasi. Sebagian
besar pedet terlambat mengisap kolostrum sehingga tidak mendapatkan jumlah
immunoglobulin yang cukup, konsumsi volume kolostrum, atau konsumsi kolostrum
konsentrasi imunoglobulin rendah (Anonim 2014).
Aspek sanitasi personal dan higiene kandang juga perlu mendapat perhatian
lebih. Jadwal desinfeksi kandang yang ketat dan rutin apabila direalisasikan
mungkin akan menurunkan tingkat serangan diare di Unit Pengembangan Semen Beku
UPTD BPBPTDK DIY. Kajian penggunaan antibiotik tertentu juga perlu dilakukan
agar pengobatan efektif, efisien dan tepat sasaran.
KESIMPULAN DAN
SARAN
Hasil kajian menunjukkan bahwa kasus diare yang terjadi
pada tahun 2013 adalah sebanyak 53 kasus. Kejadian paling tinggi pada bulan
September sebanyak 7 kasus. Kejadian diare paling sedikit pada bulan Maret dan
Oktober yaitu 3 kasus dan sapi yang paling banyak mengalami kasus diare yaitu
Luna. Kasus diare hanya terjadi pada 6 ekor sapi dari total populasi 18 ekor
pada tahun 2013.
Kausa diare belum diketahui secara spesifik
karena kasus hanya berdasarkan gejala klinis. Terapi yang diberikan juga
bersifat simtomatis berupa antibiotik, analgesik, antipiretik dan vitamin.
Pencegahan penting dilakukan agar kerugian
akibat diare tidak membesar dan fatal (kematian). Pencegahan meliputi higiene
sanitasi ternak, kandang dan manusia pengelola (Petugas kandang)
Perlu dilakukan kajian spesifik kausa diare
untuk efektifitas dan efisiensi terapi.
Sebaiknya dilakukan analisa ulang atau kajian
penggunaan jenis dan dosis antibiotik serta jenis obat lain (vaksin atau
antiparasit) untuk efektifitas dan efisiensi pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2014. Diarrhea in Neonatal Ruminants. http://www.merckmanuals.com/vet/digestive_system/intestinal_diseases_in_ruminants/diarrhea_in_neonatal_ruminants.html?qt=diarrhea&alt=sh
Anonim. 2014b. Balai Pengembangan Bibit, Pakan ternak dan Diagnostik Kehewanan (BPBPTDK). http://distan.pemda-diy.go.id/distan11/index.php?option=com_content&view=article&id=511&catid=44&Itemid=450
Calvin et all. 2008. The effect of bovine viral
diarrhea virus infections on health and performance of feedlot cattle. Journal Can Vet J 2008;49:253–260
Hafez, B. 2000. Semen evaluation. In : E.S.E. Hafez (Ed.). Reproduction in Farm
Animals. Seventh Edition, Lea
and Febiger, Philadelphia.
Kelly WR. 1984. Veterinary Clinical Diagnosis. Bailliere Tindal London Inggris
Smith BP. 2002. Large Inernal Medicine: diseases of Horse, cattle, sheep and goats.
Mosby Missouri USA.
Subronto. 2007. Ilmu Penyakit Ternak I-a. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta
Toelihere,
M.R. 1985. Inseminasi Buatan pada Ternak.
Angkasa, Bandung.
No comments:
Post a Comment