Tuesday, June 14, 2016

STUDI KASUS DIARE PADA SAPI PEJANTAN DI BALAI PENGEMBANGAN BIBIT PAKAN TERNAK DAN DIAGNOSTIK KEHEWANAN YOGYAKARTA (UPTD BPBPTDK DIY) TAHUN 2013



PENDAHULUAN

Latar Belakang
Manajemen pemeliharaan ternak yang baik meliputi pakan, kandang, kesehatan ternak dan sumber daya manusia peternak (Arianto 2012). Manajemen yang baik menunjukkan adanya keseimbangan perhatian terhadap aspek pakan, kandang,  sapi dan kesehatan sapi (Anonim 2014). Kesehatan ternak merupakan aspek penting dalam usaha pengembangbiakan peternakan (Subronto 2007). Peningkatan populasi ternak termasuk sapi, menuntut penyediaan sumber Bibit, baik sebagai ternak Bibit maupun bakalan untuk penggemukan (Tolihere 1985). Untuk meningkatkan populasi ternak sapi diperlukan peningkatan efisiensi reproduksi dan fertilitas ternak (Havez 2000). Melihat pentingnya aspek kesehatan hewan pada manajemen pemelihraan ternak maka peran tenaga medic veteriner dalam usaha mengobati penyakit yang muncul menjadi hal yang harus diperhatikan. Kesehatan hewan meliputi usaha pencegahan penyakit dan pengobatan penyakit yang muncul. Beberapa kasus penyakit yang banyak muncul pada pemeliharaan sapi jantan di UPTD BPBPTDK DIY yaitu diare. Kasus diare bisa berakibat fatal karena dapat menimbulkan kematian dan kerugian ekonomi.  Bertitik tolak dari hal tersebut, maka dilakukan kajian yang bertujuan untuk mengetahui apa itu diare, cara diagnosa, terapi dan pencegahan. Kajian ini membahas kasus diare yang ditemukan di Unit Pengembangan Produksi semen beku UPTD BPBPTDK DIY tahun 2013.  

Tujuan dan Manfaat
Kajian ini bertujuan mengetahui bagaimana gambaran diare di  unit Pengembangan Produksi Semen Beku UPTD BPBPTDK DIY tahun 2013. Dari kajian ini diharapkan ada penanganan yang lebih baik untuk kasus diare di waktu yang akan datang dan dapat mengurangi angka kasus diare yang muncul

Materi Dan Metode
Kajian kasus diare di unit Pengembangan Produksi Semen Beku UPTD BPBPTDK DIY dilakukan dengan menganalisa kasus diare yang terjadi tahun 2013. Kaus diare dibuat table khusus meliputi kasus perekor dan kasus perbulan. Data dianalisa dengan Program Microsoft excel 2003.

Materi
Materi penelitian yang digunakan adalah data kasus penyakit diare di unit Pengembangan Produksi Semen Beku UPTD BPBPTDK DIY tahun 2013

Bahan dan Alat
Kertas kerja dan Laptop

Metode
Metode kajian ini mengambil data rekam medis dan pengobatan sapi pejantan pada unit Pengembangan Produksi Semen Beku UPTD BPBPTDK DIY tahun 2013, kemudian dibahas berdasarkan literatur atau sumber pustaka baik buku, jurnal atau sumber dari internet.

Analisis Data
Data yang ada dibuat table kemudian dianalisis dengan Program Komputer Microsoft excel 2003 yang meliputi data kasus diare perbulan dan tiap ekor selama kurun waktu 2013.









LANDASAN TEORI

PROFIL UPTD BPBPTDK
Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Pengembangan Bibit, Pakan Ternak dan Diagnostik Kehewanan (UPTD BPBPTDK) merupakan salah satu unit kerja dari Dinas Pertanian Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta (UPTD BPBPTDK DIY) yang mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas Dinas Pertanian di bidang pengembangan bibit, pakan ternak dan diagnostik kehewanan. UPTD BPBPTDK mempunyai fungsi: penyusunan program Balai; pengembangan semen; pengembangan pakan ternak; pengembangan ternak bibit; pelaksanaan diagnosa dan surveilans; pengendalian mutu produk asal hewan; penyelenggaraan ketatausahaan; pelaksanaan evaluasi dan penyusunan laporan program Balai; pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh atasan sesuai tugas dan fungsinya (Anonim 2014b). Susunan UPTD BPBPTDK DIY meliputi
  1. Kepala Balai;
  2. Subbagian Tata Usaha yang mempunyai tugas melaksanakan kearsipan, keuangan, kepegawaian, pengelolaan barang, kerumahtanggaan, kehumasan, kepustakaan, serta penyusunan program dan laporan kinerja;
  3. Seksi Pengembangan Semen, Ternak Bibit dan Pakan Ternak yang mempunyai tugas melaksanakan pengembangan semen, ternak bibit dan pakan ternak;
  4. Seksi Diagnostik Kehewanan yang mempunyai tugas melaksanakan diagnosa dan surveilans serta pengendalian mutu produk asal hewan;
  5. Kelompok Jabatan Fungsional tertentu yang meliputi : Medik Veteriner, Pengawas Mutu Bibit, Paramedik Veteriner dan Pengawas Mutu Pakan.

Unit Pengembangan Semen Beku bertugas memproduksi semen beku untuk memenuhi sebagain kebutuhan di Yogyakarta. Tugas ini didukung dengan adanya ternak sapi jantan yang berjumlah 23 ekor dan 1 ekor sapi betina per 1 Januari 2014.
Rincian ternak milik Unit Pengembangan Semen Beku UPTD BPBPTDK DIY per 1 Januari – Desember 2013 pada table 1.  

No
Kode
Nama Sapi
Jenis Kelamin
Ras
1
60511
Sembada
Jantan
Simmental
2
60509
Serang
Jantan
Simmental
3
60918
Esmond
Jantan
Simmental
4
60912
Sergio
Jantan
Simmental
5
60917
Egan
Jantan
Simmental
6
21003
Orlando
Jantan
PO
7
21004
Ontoseno
Jantan
PO
8
80605
Lorenzo
Jantan
Limousin
9
80906
Lucky
Jantan
Limousin
10
60916
Eyser
Jantan
Simmental
11
61013
Suryo
Jantan
Simmental
12
61014
Samodro
Jantan
Simmental
13
61015
Satrio
Jantan
Simmental
14
61120
Aster Conan
Jantan
Simmental
15
21101
Lion
Jantan
PO
16
21102
Java
Jantan
PO
17
61919
Ekka
Jantan
Simmental
18
0541T
Luna
Betina
Limousin
Tabel 1. Populasi Sapi Jantan Unit Pengembangan Semen Beku UPTD BPBPTDK DIY.




DIARE
Diare merupakan sebuah kata umum yang digunakan untuk menggambarkan keadaan hewan yang mengalami sakit mencret. Diare pada ternak khususnya sapi/kambing bukan merupakan sebuah penyakit, tapi lebih merupakan tanda atau gejala klinis dari sebuah penyakit yang lebih komplek yang bisa disebabkan oleh berbagai hal. Diare pada ternak, seperti pada manusia, dapat terjadi ketika pergerakan cairan tubuh dalam sistem pencernaan mengalami gangguan. Biasanya selalu berakibat kehilangan cairan atau dehidrasi. Cairan tubuh yang keluar ini juga membawa garam-garam mineral atau elektrolit. Kehilangan cairan ini akan merubah keseimbangan kimiawi tubuh, yang pada akhirnya akan menimbulkan stress dan depresi dan dapat berujung pada kematian. Rehidrasi, sebuah terapi pada ternak dengan memberikan air dan suplemen elektrolit yang dapat membantu meredakan efek diare dan memulihkan keseimbangan tersebut. Secara umum, diare dibagi dua kategori, diare yang dibebabkan oleh ketidakseimbangan nutrisi (non-infeksius) dan diare yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme (Anonim 2014).
Etiologi Diare
  1. Diare Non Infeksius
Diare non infeksius biasanya disebabkan oleh perubahan (yang mendadak) dari program pemberian pakan. Bisa juga disebabkan karena keracunan bahan kimia yang berbahaya. Atau bisa juga terjadi ketika pemberian susu buatan (CMR-Calf Milk Replacement) tidak sesuai takaran, terlalu dingin atau bahkan basi. Meskipun seringkali tidak sangat berbahaya dan tidak sampai menyebabkan kematian, diare non-infeksi ini (terutama pada hewan muda/pedet) dapat dengan cepat melemahkan tubuh yang pada gilirannya dapat menyebabkan ternak rentan terkena diare infeksi atau penyakit lain yang lebih parah (Subronto 2007)
  1. Diare Infeksius
Diare jenis ini merupakan masalah terbesar terutama pada hewan pedet. Bisa disebabkan oleh infeksi virus, bakteri atau protozoa (Smith 2002). Oleh sebab itu, identifikasi terhadap sumber penyebab diare merupakan sebuah langkah penting dalam membuat program pencegahan diare.
i.              Diare karena infeksi bakteri
Bakteri ini menghasilkan semacam protein yang bersifat racun yang dapat menganggu dinding usus. Ternak memberi reaksi terhadap racun ini dengan memompa air dalam jumlah banyak ke dalam usus dengan tujuan untuk membilas atau menyiram racun ini. Beberapa bakteri yang bertanggung jawab terhadap infeksi ini adalah berasal dari jenis E. coli, Salmonella, dan Clostridium.
ii.            Diare karena infeksi virus
Virus menyerang lapisan penyerapan. Virus masuk kedalam sel dan menggunakan bahan bahan sel tersebut untuk reproduksinya. Ketika sel yang menjadi tempat berkembang biak penuh oleh virus, sel tersebut pecah dan mengeluarkan virus-virus baru untuk menyerang sel lain lebih banyak. Infeksi yang disebabkan virus menyebabkan pedet menjadi lebih rentan terhadap serangan infeksi bakteri lain.
Calvin et all. (2008) menyatakan Rotavirus dan Coronavirus memiliki cara kerja yang sama dan merupakan “tertuduh” utama pada kasus diare pada pedet. Kedua organisme tersebut banyak terdapat pada hewan dewasa dan paparan pada hewan hewan muda menjadi sangat umum. Gejala yang ditimbulkan adalah mencret parah, hampir tidak ada demam, depresi dan dehidrasi hebat. Seringkali terjadi pengeluaran saliva (air liur) dan sering mengejan. Biasanya terjadi sampai pada 10 - 14 hari sejak kelahiran, khususnya 10 hari pertama. Pada kasus ini antibiotik tidak efektif terhadap virus, tapi dapat membantu melawan infeksi bakterinya.
iii.           Diare karena infeksi Protozoa
Organisme (Coccidia & Cryptosporidia) ini masuk kedalam tubuh melalui makanan dan air yang terkontaminasi dan dapat hidup dalam kondisi dormant (suri) di tanah dan kotoran ternak selama 1 tahun. Ketika sampai di dalam usus, telur (oocyst) dari protozoa ini menetas dan berkembang biak. Menempel dan masuk ke dalam jaringan sel pada lapisan usus, menghambat pencernaan dan penyerapan makanan. Gejala infeksi subklinis kronis tidak begitu jelas, biasanya ternak menderita dan mengurangi konsumsi pakan sehingga pertumbuhan terhambat. Infeksi akut menyebabkan diare (terkadang disertai darah), depresi, kehilangan berat badan dan dehidrasi. Tapi biasanya pedet tetap makan. Coccidia memiliki siklus hidup 21 hari. Sehingga pada pedet usia dibawah itu (18 - 19 hari) jarang yang terinfeksi. Cryptosporidia biasanya ditemukan pada pedet usia 7 - 21 hari. Secara umum menginfeksi bersama rotavirus, coronavirus dan E. coli.
Epidemiologi dan Transmisi Diare
Enteropatogen terkait dengan diare biasanya ditemukan dalam feses sapi yang sehat; apakah infeksi usus menyebabkan diare tergantung pada sejumlah faktor penentu, termasuk perbedaan virulensi strain yang berbeda dari patogen dan kehadiran lebih dari satu patogen. Imunitas sapi berpengaruh terhadap efek dari adanya enteropatogen. Semakin baik imunitas maka sapi tidak akan mengalami diare. Sapi dengan imunitas sangat rentan terhadap infeksi enteropatogen dan penyakit dapat menjadi parah dan seringkali fatal (Anonim 2014).
Perkembangan infeksi, tingkat keparahan lesi yang dihasilkan, dan tingkat keparahan diare dapat dipengaruhi oleh sistem imun. Imunoglobulin bertindak langsung pada patogen dalam lumen usus, karena sejumlah besar imunoglobulin akan disekresikan ke dalam usus, terutama ketika konsentrasi immunoglobulin tinggi. Kurangnya antibodi spesifik terhadap patogen tertentu, dan penggunaan vaksin tertentu, dapat memodulasi pengaruh ini. Stres yang disebabkan oleh lingkungan yang buruk, perlindungan dari cuaca, atau makanan kurang atau tidak tepat juga meningkatkan risiko penyakit (Anonim 2014).  
Sapi dewasa yang sehat dapat menjadi pembawa dan secara berkala mengeluarkan organisme entero patogen dalam feses. Hal ini dapat menginfeksi sapi lain sehingga menyebar secara luas. Penularan terjadi melalui kontak fecal-oral, aerosol kotoran dan aerosol pernapasan (Anonim 2014).
            Patogenesis
Diare pada ruminansia biasanya berhubungan dengan penyakit usus kecil dan dapat disebabkan oleh hipersekresi atau malabsorpsi. Diare hipersekresi terjadi ketika jumlah abnormal cairan disekresi ke dalam usus, melebihi kapasitas resorptive mukosa. Pada diare malabsorbsi, kapasitas mukosa untuk menyerap cairan dan nutrisi terganggu sehingga cairan yang masuk lebih banyak daripada yang diserap. Malabsorbsi terjadi karena atrofi vili usus, di mana hilangnya enterosit mature pada ujung vili sehingga panjang vili berkurang (penurunan luas permukaan untuk penyerapan) dan hilangnya enzim pencernaan. Luas dan distribusi atrofi vili bervariasi berdasar patogen yang berbeda dan dapat menjelaskan variasi tingkat keparahan penyakit klinis. Diare malabsorbsi dapat diperburuk fermentasi nutrisi yang biasanya telah diserap usus kecil. Hasil fermentasi ini terutama asam laktat yang akan menarik air ke dalam lumen usus secara osmotik yang berkontribusi pada keparahan diare (Anonim 2014 dan Smith 2002).  
Peradangan berkontribusi terhadap patofisiologi diare pada sebagian besar infeksi usus, dan mediator peradangan dapat mempengaruhi fluks ion dalam usus. Peradangan juga menyebabkan kerusakan pembuluh darah dan limfatik dan kerusakan struktural unit crypt-villus. Bentuk yang paling menular diare memiliki hipersekresi, inflamasi, dan malabsorbsi komponen, meskipun satu biasanya mendominasi. Ini menyebabkan kekurangan air, natrium, kalium, dan bikarbonat; hipovolemia, hiponatremia, asidosis, dan azotemia prerenal (Anonim 2014).
E coli enterotoksigenik menghasilkan enterotoksin Sta, yang merangsang hipersekresi yang mengaktifkan guanylate cyclase dan dengan menginduksi sekresi natrium dan klorin. Natrium-glukosa sistem kotranspor terikat membran tetap fungsional. Salmonella juga menguraikan enterotoxin. Peradangan, menyebabkan nekrosis enterocyte, infiltrasi inflamasi submukosa dan atrofi vili, juga merupakan komponen utama patofisiologi diare yang dihasilkan oleh salmonella, serta diare yang dihasilkan oleh enteropathogenic E coli dan oleh Clostridium perfringens toxigenic. Infeksi dengan verotoxin memproduksi E coli enteropathogenic mengakibatkan akumulasi cairan dalam usus besar dan kerusakan pada mukosa usus besar, dengan edema, perdarahan, dan erosi dan ulserasi dari mukosa, yang menghasilkan darah dan lendir di dalam lumen (Smith 2002).
Virus biasanya menghasilkan diare malabsorbsi dengan menghancurkan sel-sel serap mukosa, sehingga memperpendek villi usus. Mekanisme Cryptosporidia menghasilkan diare tidak sepenuhnya dipahami, tetapi tampaknya memiliki kedua komponen malabsorbsi dan inflamasi.
Pergantian susu pada pedet diare oleh 2 mekanisme, baik yang berhubungan dengan malabsorpsi. Sayuran (terutama kedelai) produk yang umum digunakan sebagai sumber protein dalam pembuatan susu pengganti. Tergantung pada tingkat perbaikan, produk tersebut mungkin mengandung karbohidrat yang dicerna sapi muda. Karbohidrat tersebut tidak diserap di usus kecil dan dapat menyebabkan diare melalui fermentasi kolon. Selain itu, sebagian pedet kurang dari 3 minggu memiliki reaksi alergi terhadap protein kedelai yang mengakibatkan atrofi vili, yang menyebabkan diare malabsorbsi.
Gejala Klinis
Gejala klinis utama diare adalah dehidrasi, lemah, dan kematian dalam waktu satu sampai beberapa hari onset. Diare karena enterotoksigenik (K99-bearing) E coli terlihat pedet  berumur 3-5 hari. Namun, kerentanan dapat diperberat dengan adanya patogen lain. Pedet mungkin kehilangan > 12% dari berat badan dalam cairan, dan syok hipovolemik dan kematian dapat terjadi dalam 12-24 jam. Suhu tubuh dapat ditingkatkan tetapi umumnya normal atau di bawah normal. Jika terapi cairan dan elektrolit diberikan lebih awal akan memberikan respons yang baik (Anonim 2014).  
Diare akibat Salmonella spp biasanya tidak terlihat pedet <14 ada="" adalah="" berbau="" berlebihan.="" busuk="" dan="" darah="" dari="" demam="" dengan="" diare.="" ditandai="" feses="" fibrin="" hal="" hari.="" ini="" jumlah="" koma="" lendir="" manifestasi="" mengandung="" menjadi="" menonjol="" meskipun="" salmonellosis="" septicemia="" serta="" span="" style="mso-spacerun: yes;" tinggi="" yang=""> Kematian biasanya dari septicemia bukan dari syok hipovolemik. Pedet dengan salmonellosis biasanya kehilangan berat badan dengan cepat dan sering mati meskipun terapi yang kuat. Hemorrhagic enterotoxemia karena C perfringens tipe B atau C ditandai dengan onset depresi akut, kelemahan, diare berdarah, kolik dan kematian dalam beberapa jam (Anonim 2014).
Diare akibat rotavirus, coronavirus, dan virus lain yang biasanya terlihat pada pedet berumur 5-15 hari, tetapi dapat mempengaruhi pedet  untuk beberapa bulan. Anak sapi yang terkena akan tertekan dan sering terus menghisap atau minum susu. Kotoran yang tebal, lembut-cairan dan sering mengandung sejumlah besar lendir. Diare biasanya berlangsung selama 3 sampai beberapa hari, dengan beberapa kasus coronaviral diare menjadi kronis. Kasus diare virus oleh patogen yang kompleks sering tidak membaik meskipun beberapa hari diberi terapi cairan dan elektrolit serta dukungan nutrisi yang memadai.
Kriptosporidiosis (lihat kriptosporidiosis) terlihat pada anak lembu berumur 5-35 hari, tetapi paling sering pada minggu kedua. Hal ini ditandai dengan diare persisten yang tidak merespon terhadap terapi. Diare karena Cryptosporidium spp sering ringan dan terbatas, meskipun beratnya mungkin berhubungan dengan kekuatan umum pedet  dan intensitas paparan organisme. Kombinasi infeksi Cryptosporidia, rotavirus, dan coronavirus yang umum dan mengakibatkan diare persisten sering ditandai dengan kekurusan dan kematian. Kematian dari hipoglikemia juga terjadi karena cryptosporidiosis pedet 3-4 minggu yang telah pulih dari diare tetapi masih kurus. Kematian sering terjadi selama serangan cuaca dingin dan lebih mungkin terjadi pada peternakan yang mengurangi jumlah susu pedet  selama periode diare.
Diagnosis
Kelly (1984) menyatakan sulit untuk membuat diagnosis etiologi pasti hanya berdasarkan temuan klinis. Namun, sejarah, umur hewan, dan tanda-tanda klinis dapat memberikan diagnosis sementara. Sampel feses dapat diajukan untuk isolasi dan karakterisasi enteropatogen umum. Sampel harus diambil dari beberapa anak sapi yang tidak diobati pada tahap awal diare. Teknik khusus diperlukan untuk demonstrasi virus, Cryptosporidia, dan K99-bearing E coli. Penafsiran mikrobiologi feses bisa sulit karena infeksi campuran dan karena enteropatogen biasa hadir dalam feses sapi yang sehat.
Informasi diagnostik terbaik biasanya diperoleh dari nekropsi ternak akut yang mati. Hal ini memungkinkan pemeriksaan mukosa usus untuk diagnostik lesi dan untuk mengetahui enteropatogen seperti Cryptosporidia. Ini mungkin satu-satunya cara bahwa penyakit seperti yang terkait dengan melampirkan dan menonjolkan strain E coli dapat didiagnosis. Nilai diagnostik dari sebuah nekropsi berkurang dengan cepat dengan waktu setelah kematian; lesi yang penting dapat hilang dalam beberapa menit akibat autolisis.
Pemeriksaan laboratorium lengkap bisa mahal, dan juga telah menyatakan bahwa ada sedikit nilai dalam pengeluaran uang dalam jumlah besar pada diagnosis kecuali ada prosedur pengendalian khusus yang dapat diimplementasikan berdasarkan informasi yang diperoleh. Dalam semua kasus, informasi mengenai total konsumsi susu atau pengganti susu harus diperoleh. Imunitas nonspesifik harus dinilai dengan menentukan konsentrasi imunoglobulin dan vitamin A dalam serum.
Terapi
Banyak faktor yang terlibat dalam ketahanan terhadap penyakit tidak spesifik; dengan demikian, langkah-langkah pencegahan yang penting dapat diambil dan terapi dapat dimulai sebelum diagnosis etiologi telah ditetapkan. Perawatan termasuk cairan dan elektrolit pengganti, perubahan diet, terapi antimikroba dan immunoglobulin, dan penggunaan obat antidiare dan adsorben.
Terapi cairan dan elektrolit yang paling penting dan harus sesegera mungkin terlepas dari apakah bukti klinis dehidrasi telah terlihat (tanda-tanda klinis dehidrasi tidak jelas sampai sapi telah kehilangan setidaknya 6% dari berat tubuhnya dalam cairan). Sapi yang masih mampu berdiri dan yang mampu makan dan minum sering dapat diobati dengan elektrolit oral saja. Cairan untuk rehidrasi oral harus mempromosikan kotranspor natrium dengan glukosa dan asam amino dan harus mengandung natrium, glukosa, glisin atau alanin, kalium, dan bikarbonat atau sitrat baik atau asetat sebagai prekursor bikarbonat. Beberapa persiapan komersial yang tersedia. Ini dapat diberikan oleh botol puting susu atau, jika perlu, oleh tabung perut. Solusi harus digunakan secara bebas sampai hewan tersebut direhidrasi.
Sapi yang ambruk, lemah, dan menunjukkan bukti kehilangan air ≥ 8% dari berat badan mereka memerlukan cairan IV dan terapi elektrolit. Sapi ini biasanya mengalami asidosis dan defisit cairan dan dapat diberi dengan pemberian (13 g / L) larutan isotonik natrium bikarbonat, idealnya pada 100 mL / kg selama 4-6 jam. Karena betis sering hipoglikemik, penambahan 25-50 g dekstrosa ke larutan bikarbonat sering menguntungkan. Solusi bikarbonat harus diikuti dengan terapi cairan IV kontinyu dengan larutan elektrolit fisiologis seimbang diberikan pada 5-8 mL / kg / jam untuk 20 jam berikutnya; tingkat yang lebih tinggi mungkin diperlukan tergantung pada tingkat keparahan diare. Larutan elektrolit oral mungkin harus digunakan bersamaan dengan terapi IV.
Penggunaan antimikroba tidak didukung oleh sebagian besar uji klinis dan tidak ditunjukkan dalam diare yang disebabkan oleh virus atau protozoa. Antibiotik mungkin nilai dalam mengobati diare yang berhubungan dengan enterotoxigenic atau melampirkan dan menonjolkan E coli. Rute administrasi harus oral, dan pilihan berdasarkan uji sensitivitas. Bila penyakit septicemia, karena pengalihan memadai imunoglobulin colostral, diduga sebagai komplikasi, antibiotik parenteral diberikan juga ditunjukkan. Salmonellosis harus ditangani dengan antimikroba parenteral.
Beberapa obat, seperti flunixin meglumine, indometasin, loperamide, difenoksilat, dan bismuth subsalicylate, memiliki antisekresi dan aktivitas anti-inflamasi dan digunakan dalam pengobatan, tetapi tidak ada uji klinis dari keberhasilan.  Gel usus dan adsorben, seperti kaolin dan pektin, yang digunakan secara umum, tetapi efeknya untuk meningkatkan konsistensi tinja tetapi tidak mengurangi hilangnya air dan ion.


Pencegahan dan Pengendalian
Subronto (2007) mengatakan diare pada sapi bersifat kompleks sehingga tidak realistis untuk mengharapkan kontrol pencegahan total. Insiden penyakit klinis dan tingkat kematian kasus tergantung pada keseimbangan antara tingkat paparan agen infeksi dan imunitas. Tiga prinsip luas berlaku di semua ternak: 1) tingkat paparan sapi harus dikurangi dengan mengisolasi hewan yang sakit atau dengan memindahkan sapi di lokasi yang terpisah dan dengan mempraktikkan kebersihan umum yang baik; 2) resistensi spesifik harus dimaksimalkan dengan memberikan nutrisi yang baik untuk sapi; dan 3) resistensi spesifik dari pedet yang baru lahir harus ditingkatkan dengan vaksinasi.  Sebagian besar pedet terlambat mengisap kolostrum sehingga tidak mendapatkan jumlah immunoglobulin yang cukup, konsumsi volume kolostrum, atau konsumsi kolostrum konsentrasi imunoglobulin rendah.










HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebuah diagnosa ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik ini meliputi anamnesa, status preasent, pemeriksaan fisik lanjutan dan kadang didukung oleh hasil laboratorium (Kelly 1984). Diagnosa suatu penyakit harus mempelajari banyak aspek. Beberapa aspek tersebut antara lain kausa, patogenesa dan epidemiologis penyakit (Kelly 1984). Diagnosa yang baik akan membantu ketepatan terapi.
Hasil pengolahan data rekam medis dan pengobatan pada Unit Pengembangan Semen Beku UPTD BPBPTDK DIY tahun 2013 menunjukan adanya kasus diare yang muncul pada Tabel 2.
Bulan
Jumlah Kasus Diare
Persentase (%)
JANUARI
4
7,5
FEBRUARI
5
9,4
MARET
3
5,7
APRIL
6
11,3
MEI
6
11,3
JUNI
6
11,3
JULI
4
7,5
AGUSTUS
4
7,5
SEPTEMBER
7
13,2
OKTOBER
3
5,7
NOVEMBER
5
9,4
Total
53
100,0

Tabel 2. Kasus diare pada Unit Pengembangan Semen Beku UPTD BPBPTDK tahun 2013.
Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa pada tahun 2013 jumlah kasus diare pada Unit Pengembangan Semen Beku UPTD BPBPTDK DIY adalah sebanyak 53 kasus dengan kasus tertinggi pada bulan september dan kasus terendah pada bulan Maret dan Oktober. Sedangkan untuk sebaran individu yang mengalami diare dapat dilihat pada grafik 1. Dari grafik tersebut terlihat masing masing individu yang terkena diare yaitu Esmond 4 kali, Ontoseno 5 kali, Lorenzo 11 kali, Satrio 11 kali, Aster 6 kali dan Luna 16 kali. Dari data grafik 1 dapat diperoleh beberapa angka antara lain persentase sakit diare pada Unit Pengembangan Semen Beku UPTD BPBPTDK DIY yaitu 33.33 % dari populasi (6:18).
Kasus cenderung tinggi pada bulan April Mei Juni ini kemungkinan karena adanya penggantian jenis pakan dari rumput menjadi tebon jagung karena pada bulan ini merupakan puncak musim kemarau. Meskipun analisis ini masih kecil akurasinya. Pada beberapa literatur disampaikan bahwa kasus diare cenderung tinggi pada awal sampai puncak musim penghujan karena pada masa ini kemungkinan mikroba berkembang dengan pesat dibandingkan waktu yang lain (Smith 2002).
Kasus diare terbanyak dialami sapi betina Luna. Hal ini terjadi mungkin karena pada Unit Pengembangan Semen Beku sapi betina tidak menjadi prioritas dalam penanganan setiap harinya. Kondisi ini juga didukung dari kondisi kandang yang pembersihannya tidak serutin pada sapi jantan.
Gejala klinis yang muncul secara umum antara lain demam, lemas dan  feses encer. Pada beberapa kasus yang ada belum ditemukan bahwa diare yang terjadi menyebabkan kematian. Kasus kasus yang muncul segera ditangani dengan pemberian makan dan minum yang cukup serta terapi obat-obatan dan vitamin. Beberapa pilihan obat yang diberikan antara lain antibiotik, analgesik, antipiretik, vitamin dan mineral.
Terapi yang efektif dan efisien memerlukan diagnosa yang tepat. Diagnosa yang tepat perlu benar-benar memperehatikan dan mempertimbangkan banyak aspek. Pencegahan yang baik akan mengurangi banyak biaya dan terapi. Sehingga faktor higiene dan sanitasi harus menjadi perhatian utama.
Antibiotik berspektrum luas cenderung dipilih karena diharapkan mampu mengeliminasi mikroba yang banyak dan belum diketahui spesifikasinya. Antibiotik bersifat long acting juga dipilih karena diharapkan dengan pemberian obat yang dalam jangka panjang (tidak setiap hari) sudah mampu mengatasi diare yang muncul. Antisipasi pemberian analgesik dan antipiretik diharapkan mampu mendukung proses penyembuhan.


 







Grafik 1. Kasus diare per ekor pada unit Pengembangan Semen Beku UPTD BPBPTDK DIY tahun 2013.
Hasil rekam medis dan pengobatan ternak di Unit Pengembangan Semen Beku UPTD BPBPTDK DIY menunjukan bahwa ternak yang menderita diare dapat segera sembuh dalam waktu yang bervariasi antara 3-7 hari. Kadang-kadang sapi yang sama kembali terserang diare dalam kurun waktu tertentu. Pengamatan yang rutin dan jeli serta terapi yang cepat akan mempercepat proses penyembuhan.
Karena sifat kompleks diare pada sapi, maka tidak realistis untuk mengharapkan kontrol pencegahan total. Insiden penyakit klinis dan tingkat kematian kasus tergantung pada keseimbangan antara tingkat paparan agen infeksi dan imunitas. Tiga prinsip luas berlaku di semua ternak: 1) tingkat paparan sapi harus dikurangi dengan mengisolasi hewan yang sakit atau dengan memindahkan sapi di lokasi yang terpisah dan dengan mempraktikkan kebersihan umum yang baik; 2) resistensi spesifik harus dimaksimalkan dengan memberikan nutrisi yang baik untuk sapi; dan 3) resistensi spesifik dari pedet yang baru lahir harus ditingkatkan dengan vaksinasi.  Sebagian besar pedet terlambat mengisap kolostrum sehingga tidak mendapatkan jumlah immunoglobulin yang cukup, konsumsi volume kolostrum, atau konsumsi kolostrum konsentrasi imunoglobulin rendah (Anonim 2014).
Aspek sanitasi personal dan higiene kandang juga perlu mendapat perhatian lebih. Jadwal desinfeksi kandang yang ketat dan rutin apabila direalisasikan mungkin akan menurunkan tingkat serangan diare di Unit Pengembangan Semen Beku UPTD BPBPTDK DIY. Kajian penggunaan antibiotik tertentu juga perlu dilakukan agar pengobatan efektif, efisien dan tepat sasaran.










KESIMPULAN DAN SARAN
Hasil kajian menunjukkan bahwa kasus diare yang terjadi pada tahun 2013 adalah sebanyak 53 kasus. Kejadian paling tinggi pada bulan September sebanyak 7 kasus. Kejadian diare paling sedikit pada bulan Maret dan Oktober yaitu 3 kasus dan sapi yang paling banyak mengalami kasus diare yaitu Luna. Kasus diare hanya terjadi pada 6 ekor sapi dari total populasi 18 ekor pada tahun 2013.
Kausa diare belum diketahui secara spesifik karena kasus hanya berdasarkan gejala klinis. Terapi yang diberikan juga bersifat simtomatis berupa antibiotik, analgesik, antipiretik dan vitamin.
Pencegahan penting dilakukan agar kerugian akibat diare tidak membesar dan fatal (kematian). Pencegahan meliputi higiene sanitasi ternak, kandang dan manusia pengelola (Petugas kandang)
Perlu dilakukan kajian spesifik kausa diare untuk efektifitas dan efisiensi terapi.
Sebaiknya dilakukan analisa ulang atau kajian penggunaan jenis dan dosis antibiotik serta jenis obat lain (vaksin atau antiparasit) untuk efektifitas dan efisiensi pengobatan.



DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2014. Diarrhea in Neonatal Ruminants. http://www.merckmanuals.com/vet/digestive_system/intestinal_diseases_in_ruminants/diarrhea_in_neonatal_ruminants.html?qt=diarrhea&alt=sh

Anonim. 2014b. Balai Pengembangan Bibit, Pakan ternak dan Diagnostik Kehewanan (BPBPTDK). http://distan.pemda-diy.go.id/distan11/index.php?option=com_content&view=article&id=511&catid=44&Itemid=450

Calvin et all. 2008. The effect of bovine viral diarrhea virus infections on health and performance of feedlot cattle. Journal Can Vet J 2008;49:253–260
Hafez, B. 2000. Semen evaluation. In : E.S.E. Hafez (Ed.). Reproduction in Farm Animals. Seventh Edition, Lea and Febiger, Philadelphia.
Kelly WR. 1984. Veterinary Clinical Diagnosis. Bailliere Tindal London Inggris
Smith BP. 2002. Large Inernal Medicine: diseases of Horse, cattle, sheep and goats. Mosby Missouri USA.
Subronto. 2007. Ilmu Penyakit Ternak I-a. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Toelihere, M.R. 1985. Inseminasi Buatan pada Ternak. Angkasa, Bandung.

No comments: