Blog ini akan digunakan untuk mengekspresikan tulisan-tulisan baik ilmiah ataupun fiksi. Tulisan sebagian berkaitan dengan peternakan dan kesehatan hewan. Semoga bermanfaat.
Berdasarkan hukum mendel, seorang anak akan mewarisi sifat setengah dari ayahnya dan yang setengah lagi dari ibunya. Teori Mendel ini hanya berhubungan dengan gen (DNA) yang terkandung dalam inti sel. Dalam perkembangannya, ternyata ditemukan pula DNA di luar inti sel, yaitu pada organ yang disebut mitokondria, yang letaknya juga di dalam sel. banyaknya DNA mitokondria ini bervariasi, dari 2-5% dari total DNA secara keseluruhan di dalam inti sel. Dalam proses pembuahan, mitokondria ini hanya dimiliki sel telur (ovum), sedangkan spermatozoa tidak memilikinya. Hal ini berarti bahwa seorang anak mewarisi sifat lebih banyak dari ibunya, karena adanya DNA mitokondria yang juda diwariskan hanya dari ibu.
Penemuan DNA mitokondria ini terjadi dalam kurun 30 tahun terakhir.
Jika fenomena ini kita telusuri di dalam AL-qur'an dan hadist, maka petunjuk seperti ini sebenarnya sudah akrab dengan kita, hanya saja sayangnya kita memandang semata-mata dari sudut agama saja. Di dalam islam menghormati dan berbakti kepada orang tua itu wajib hukumnya. Bahkan, kita ditekankan untuk menjawab panggilan ibu walaupun pada saat itu kita sedang sholat sunah. Kedudukan seorang ibu demikian istimewanya di dalam islam. Seringkali hal ini hanya dimaknai hanya sebagai susah payahnya seorang ibu selama 9 bulan mengandung anaknya, selanjutnya dalam kurun paling tidak dua tahun menyusui anak, dan dilanjutkan mendidik anak-anaknya. Resiko kehilangan nyawa bagi seorang ibu dalam mengandung dan melahirkan anaknya sangat tinggi. Dalam kenyataannya beban seorang ayah juga dapat dikatakan seberat seorang ibu dalam rangka mencari nafkah, akan tetapi mengapa dalam alqur'an peran seorang ibu lebih ditekankan dalam membentuk karakter seorang anak. Penekanan ini terbukti secara ilmiah dengan adanya campur tangan DNA mitokondria yang hanya berasal dari ibu. Di samping itu, lingkungan rahim selama bayi dalam kandungan juga akan menghasilkan karakter sesuai hukum genetika bahwa, fenotip adalah hasil dari gen yang berinteraksi dengan lingkungan (rahim).
Hal ini sejalan dengan pernyataan "Wanita itu adalah tiang negara".
wallahu alam.
Sumber Rahasia dan hikmah pewarisan sifat (ilmu Genetika dalam Alqur'an) karangan Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc dan Prof. Dr. Ir Kundang Boro Seminar, M.Sc.
Pernyataan bahwa laki-laki dan perempuan berbeda itu telah terbukti secara genetik. Setiap manusia normal akan memiliki jumlah kromosom sebanyak 46 buah. Kromosom ini berpasang-pasangan sehingga terdapat 23 pasang. Pasangan kromosom ini dibagi lagi menjadi 2, yaitu 22 pasang merupakan kromosom tubuh (autosome) dan 1 pasang berikutnya merupakan kromosom kelamin (sex). Setiap laki-laki memiliki 22 pasang kromosom autosome ditambah 1 pasang kromosom sex yang dinotasikan dengan huruf X dan Y (XY). Berbeda dengan laki-laki, seorang wanita memiliki 22 pasang kromosom autosom dan 1 pasang kromosom sex dengan notasi XX.
(laki-laki= 22A+XY; perempuan =22A+XX).
Keajaiban penciptaan ini dicontohkan pada kasus buta warna. Sifat buta warna hanya terletak pada kromosom X yang ekspresinya lebih banyak dijumpai pada laki-laki, sebab untuk laki-laki apabila dia mewarisi kromosom X yang mengandung gen buta warna dari ayahatau ibunya, maka dapat dipastikan dia menderita buta warna. Sedangkan untuk perempuan apabila sifat buta warna hanya terletak pada salah satu kromosom X, maka tidak akan menderita buta warna tetapi sebagai carrier buta warna. hal ini ternyata sama dengan sifat kebotakan dini, oleh sebab ini kita lebih banyak melihat laki-laki yang mengalami kebotakan daripada wanita.
Seperti pada note tentang adanya DNA mitokondria yang hanya diwariskan dari seorang ibu, jelaslah bahwa wanita diciptakan berbeda dengan laki-laki. Demikian pula sifat memiliki bulu lebat dan berjanggut lebat hanya tertaut pada kromosom Y, meskipun ekspresi ini berhubungan dengan pengaruh hormon. Maha besar Allah yang telah menciptakan laki-laki dan wanita berbeda dan istimewa dengan peran dan kelebihan masing-masing. Seperti dalam sebuah surat Allah berfirman: " kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka telah menafkahkan sebagain dari harta mereka" (4:34).
wallahu'alam.
sumber : Rahasia dan Hikmah Pewarisan Sifat (ilmu Genetika dalam Al-Qur'an)
karangan Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc dan Prof. Dr. Ir Kundang Boro Seminar, M.Sc.
Klostridiosis merupakan salah satu penyakit penting pada unggas khususnya peternakan ayam broiler. Klostridiosis disebabkan oleh bakteri Clostridium sp. Lesi yang ditimbulkan oleh Clostridium sp. dikaitkan dengan toksin yang dihasilkan oleh bakteri tersebut. Clostridium sp. merupakan bagian dari flora bakteri normal di dalam traktus intestinal. Jenis Clostridium yang paling banyak ditemukan pada saluran pencernaan ayam dan menyebabkan sakit pada ayam broiler adalah Clostridium perfringens Secara normal jumlah C. perfringens di dalam saluran intestinal adalah rendah. Dalam keadaan tertentu C. perfringens bermultiplikasi dan menyebabkan penyakit enterik (Darmawi 2004). Organisme ini tersebar di mana-mana, dan kadang-kadang ditemukan di dalam saluran intestinal ayam yang sehat (Lovland dan Kaldhusdal 2001).
Kebanyakan penyakit bakerial dimulai dengan kolonisasi bakteri. Pengecualian terhadap cara ini adalah pada bakteri yang menyebabkan penyakit dengan menghasilkan eksotoksin ketika perkembangannya. Eksotoksin teringesti dan bertanggungjawab terhadap gejala penyakit. Contoh bakteri yang menimbulkan penyakit tanpa dimulai dengan kolonisasi adalah C. perfringens (Salyers dan Whitt 1994 Di dalam Darmawi 2004), dimana bakteri teringesti bersama makanan terkontaminasi dan menghasilkan eksotoksin ketika mengalami sporulasi di dalam intestinal. Sporulasi merupakan respon umum dari pembentukan spora terhadap tekanan dan lingkungan asam (McClane 2000).
C. perfringens bersifat anaerob, positif gram, batang yang membentuk spora. C. perfringens tumbuh dengan cepat di dalam pakan, terutama pakan asal hewan. Bakteri ini tidak menghasilkan toksin ketika tumbuh di dalam pakan, tetapi hanya setelah terangsang untuk bersporulasi oleh lingkungan asam. Toksin berinteraksi dengan mukosa intestinal, menyebabkan diare (Turcsan et al. 2001). Tidak semua kasus diare C. perfringens disebabkan oleh pakan yang terkontaminasi. Penggunaan antibiotik dapat mengganggu koloni mikroflora dan memberi kesempatan kepada C. perfringens untuk berkembang pada level yang lebih tinggi (Elwinger et al. 1998 Di dalam Darmawi 2004). C. perfringens merupakan salah satu bakteri yang dapat membawa dampak terhadap masalah kesehatan dan kerugian ekonomi dalam produksi ayam terutama disebabkan oleh diare, nekrotik enteritis, hepatitis, dan renitis (Lovland dan Kaldhusdal 2001).
PATOGENESA
Langkah pertama yang dibutuhkan C. perfringens adalah mengkontaminasi pakan dan termakan oleh ayam. Kebanyakan bakteri vegetatif yang teringesti terbunuh oleh pH asam, akan tetapi tingkat kontaminan yang tinggi di dalam pakan (>106 – 107 sel/gram pakan) dari C. perfringens vegetatif, beberapa diantaranya masih survive luput dari pH asam sehingga sampai ke intestinal (McClane 2000).
Sekali hadir di dalam intestinal, sel-sel vegetatif C. perfringens yang survive segera bermultiplikasi, kemudian mengalami sporulasi (Turcsan 1998). Sporulasi C. perfringens di dalam intestinal mungkin dipicu oleh kondisi asam atau oleh garam empedu di dalam intestinal. Penelitian mutakhir mengindikasikan bahwa kedua isolat C. perfringens enterotoksin (CPE)-positif dan CPE-negatif dapat menghasilkan suatu faktor resisten asam dan panas yang merangsang sporulasi C. perfringens (McClane 2000).
Gambar 1 Patogenesis keracunan pakan oleh C. perfringens
Secara klinis keracunan pakan yang disebabkan oleh C. perfringens dikarakterisasikan oleh diare dan kram abdominal yang muncul kira-kira 6 – 18 jam setelah memakan makanan kontaminan (Gambar 1). Periode inkubasi ini dibutuhkan oleh C. perfringens untuk sporulasi in vivo (McClane 2000). Lovland dan Kaldhusdal (2001) melaporkan bahwa nekrotik enteritis dan hepatitis akibat infeksi C. perfringens akan memperlambat tampilan produksi ayam (Gambar 2) yang mencapai 25 sampai 43%. Penyakit berjalan secara subklinis sulit terdeteksi dan ayam tetap terpelihara di dalam flock meskipun dengan ratio konversi pakan yang rendah. Managemen yang tidak optimal dan infeksi oleh agen lain juga dapat menyebabkan ayam terinfeksi oleh C. perfringens yang pada akhirnya memperlambat tampilan produksi. Faktor lainnya seperti kesulitan melakukan eradikasi spora C. perfringens, hygine secara rutin, dan faktor managemen yang umum lainnya turut membentuk suatu jaring-jaring infeksi oleh bakteri tersebut.
Gambar 2
Jaringan penyebab terhambatnya tampilan produksi dikaitkan dengan
infeksi C. perfringens.
Menurut Darmawi (2004) toksin dari C. perfringens adalah alfa toksin yang mempunyai aktifitas seperti fosfolipase C – suatu enzim yang dapat merusak membran sel hewan. Lovland dan Kaldhusdal (2001), nekrotik enteritis adalah suatu kerusakan intestinal yang terjadi akibat infeksi C. perfringens tipe A atau C toksigenik yang berproliferasi dalam jumlah besar di dalam usus halus. Alfa toksin yang dihasilkan oleh C. perfringens menyebabkan nekrosa pada mukosa intestinal yang diawali dari ujung villi. Lesi nekrotik akan menyebar secara luas dengan membran dipteritik dan disfungsi yang hebat intestinal. Toksaemia juga terjadi yang bersama-sama dengan lesi intestinal menyumbangkan gejala klinis penyakit, bahkan dalam beberapa kasus menyebabkan kematian.
Enteretoksaemia pada ayam terfokus pada intestinal, tetapi Vissiennon et al. (1996) mendemontrasikan bahwa toksin C. perfringens tipe A tidak hanya merusak enterosit sebagai organ target utama, tetapi juga parenkim hati dan sel-sel endotel di dalam hati dan ginjal. Efek patologi utama adalah lesi mitokondria hepatosit dan di dalam sel-sel epitel tubular ginjal dan pembengkakan sitoplasma sel-sel endotel kapiler di dalam kedua organ tersebut. Lesi mitikondria juga terjadi pada kardiomiosit dan juga dijumpai penebalan membran dasar glomerulus. Berdasarkan temuan tersebut, toksin terutama alfa toksin yang dihasilkan oleh C. perfringens di dalam intestinal meneruskan ke sistem sirkulasi melalui mukosa intestinal (enterotoksaemia) dan mencapai organ-organ lainnya. Setelah diabsorpsi, aktifitas alfa toksin pada ayam akan menyebabkan kelainan pada hati dan ginjal. Vissiennon et al. (1996), enterotoksin pada ayam dapat berakibat fatal dengan dan tanpa disertai nekrotik enteritis. Temuan morfologi dapat meliputi hemoragi dan nekrotik enteritis. Mukosa yang rusak tertutup suatu membran coklat keabuan hingga hijau kekuningan. Temuan nekropsi pada kasus tanpa nekrotik enteritis memperlihatkan diare dan kandungan cairan intestinal bergelembung gas.
Kerusakan lain yang ditimbulkan akibat infeksi C. perfringens berupa pembesaran hati, pucat, loreng dengan pola berlobus dan lesi-lesi kecil. Dinding kantong empedu meradang atau nekrotik dan karkas ayam kadang-kadang ikterus (jaundice) (Lovland dan Kaldhusdal 2001). Investigasi mikroskop elektron pada hati dan ginjal yang dilakukan oleh Vissiennon et al. (1996) pada ayam broiler yang diinfeksi dengan C. perfringens memperlihatkan adanya perubahan pada kedua organ tersebut. Empat belas hari pasca infeksi, sel-sel hati dan sel-sel tubuler ginjal mengalami perubahan berupa lesi mitokondria (bengkak, kristolisis, penjernihan matriks, dan gambaran myelin), kehilangan glikogen dan pembengkakan sel endotel kapiler pada kedua organ serta pengentalan membran dasar glomerulus.
Klostridiosis menyebabkan kerugian yang cukup besar bagi peternakan ayam broiler karena terjadi pembengkakan feed convertion ratio (FCR). Kegagalan penyerapan pakan akibat klostridium dan faktor predisposisi lain seperti penyakit koksidiosis dan penyakit yang menyebabkan immunosupresif menyebabkan pembengkakan biaya produksi (Tabbu 2000). Faktor manajemen pemeliharaan terutama sanitasi merupakan faktor penting untuk mengendalikan klostridiosis. Pengobatan klostridiosis dilakukan dengan pemberian antibiotik yang berspektrum luas. Alternatif lainnya dapat digunakan bioproduk seperti probiotik atau flora normal saluran cerna ayam. Penggunaan flora normal usus atau probiotik merupakan tindakan alternatif untuk menghindari pemakaian antibiotik. Pemberian flora normal usus secara langsung akan meningkatkan kuantitas flora normal. Sedangkan pemberian probiotik akan memacu perkembangan flora normal yang ada di dalam intestinal. Peningkatan flora normal akan membantu penyerapan zat nutrisi menjadi lebih efisien. Karena beberapa flora normal diketahui mampu mengurai senyawa dengan berat massa yang besar menjadi senyawa lain yang lebih sederhana. Peningkatan flora normal juga dapat menurunkan peluang bagi C. perfringens untuk dapat berkembang karena tingkat kompetitif yang lebih tinggi.
KESIMPULAN
Klostridiumbersifat anaerob, positif gram batang yang membentuk spora. Bakteri dapat tumbuh di dalam pakan yang terkontaminasi dan termakan oleh ayam. Bakteri yang lolos dari pH asam segera bermultiplikasi, kemudian mengalami sporulasi. Toksin berakumulasi di dalam sitoplasma sel host dan dilepaskan ke dalam lumen intestinal. Toksin inilah yang berbahaya dan menyebabkan enterotoksemia. Hal ini akan lebih parah akibat manajemen yang buruk dan predisposisi penyakit lain. Akibat yang ditimbulkan yaitu pembengkakan nilai konfersi pakan. Klostridiosis dapat dicegah dengan antibiotik atau pemberian prebiotik.
DAFTAR PUSTAKA
Darmawi. 2004. Aktivitas Toksin Clostridium Perfringens Dan Pencegahannya Pada Ayam. Pengantar Falsafah Sains Program Pasca Sarjana (S3) IPB.
Lovland A. & Kaldhusdal M. 2001. Severely impaired production performance in broiler flocks with high incidence of Clostridium perfringens-associated hepatitis. Avian Pathology Journal 30: 73 – 81.
McClane BA. 2000. The action, Genetics, and synthesis of C. perfringens enterotoxin in Microbial foodborne diseases mechanism of pathogenesis and toxin synthesis. 10th ed. Technomic Publishing Company, Inc, pp.247-267.
Tabbu CR. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Turcsan J et al. 2001. Occurrence of anaerobic bacterial, clostridial, and Clostridium perfrngens spores in raw goose livers from a poultry processng plant in Hungary. Journal of Food Protection 64(8): 1252-1254
Vissiennon T, Menger S, & LanghofI. 1996. Hepatic and renal ultrastructural lesien in exprimental Clostridium perfringens type A enterotoxemia in chickens. Avian Diseases 40 (3): 720 – 724, Institute for Veterinary Pathology, Faculty of Veterinary Medicine, University of Leipzig, Germany on line available et http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ [20 Maret 2010]