Assalamu'alaikum wrwb
Kali ini saya copas kan informasi tentang I'tikaf..semoga bermanfaat
https://www.facebook.com/sofyanruray.info/posts/625866537562832:0
Pertama: Makna I’tikaf
I’tikaf maknanya adalah,
لزوم مسجد
جماعةٍ، بنيةٍ لعبادة الله فيه، من شخص مخصوص، بشروط مخصوصة، على صفة مخصوصة، في
زمن مخصوص
“Berdiam
diri di masjid umum yang diadakan padanya sholat berjama’ah dengan niat
beribadah kepada Allah ta’ala di masjid tersebut, yang dilakukan oleh orang
tertentu, dengan syarat-syarat tertentu, tata cara tertentu, di waktu
tertentu.” [Ash-Shiyaamu fil Islam, hal. 450-451]
Akan datang
insya Allah penjelasan lebih detail di poin-poin berikut tentang orang tertentu,
dengan syarat-syarat tertentu, tata cara tertentu dan waktu tertentu.
Kedua: Syarat-Syarat I’tikaf
Syarat Pertama: Islam, karena ibadah orang
kafir tidak sah, sebagaimana firman Allah ta’ala,
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا
مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاء مَّنثُورًا
“Dan Kami
hadapi segala amal yang mereka (orang-orang kafir) kerjakan, lalu Kami jadikan
amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” [Al-Furqon: 23]
Dan firman
Allah ta’ala,
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ
مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Seandainya
mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah
mereka kerjakan.” [Al-An’am: 88]
Syarat Kedua: Berakal, karena orang yang
gila tidak disyari’atkan beribadah, sebagaimana sabda Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam,
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ،
عَنِ الْمَجْنُونِ الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ
حَتَّى يَفِيقَ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ،
وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ
“Pena
diangkat dari tiga golongan, yaitu dari orang gila yang tertutup akalnya sampai
ia sadar, dari orang yang tidur sampai ia bangun dan dari anak kecil sampai ia
baligh.” [HR. Abu Daud dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, Al-Irwa’,
2/5]
Syarat Ketiga: Mumayyiz, yaitu berumur
minimal 7 tahun dan telah memahami ibadah yang ia kerjakan. Tidak sah i’tikaf
anak kecil yang belum mumayyiz.
Syarat Keempat: Berniat i’tikaf, karena
setiap amalan bergantung kepada niat, sebagaimana sabda Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam,
إنَّمَا الأعْمَالُ بَالْنيَاتِ، وَإنَّمَا لِكل امرئ مَا نَوَى، فمَنْ كَانَتْ هِجْرَتهُ إلَى اللّه وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتهُ إلَى اللّه وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرتُهُ لِدُنيا يُصيبُهَا، أو امْرَأة يَنْكِحُهَا
فَهِجْرَتُه إلَى مَا هَاجَرَ إليهِ
“Sesungguhnya
amalan-amalan manusia tergantung niat, dan setiap orang mendapatkan balasan
sesuai niatnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka
ia mendapatkan pahala hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa
hijrahnya karena dunia yang ingin ia raih, atau wanita yang ingin ia nikahi,
maka hijrahnya kepada apa yang ia niatkan.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim
dari Umar Bin Khaththab radhiyallahu’anhu]
Faidah Penting tentang
Pensyaratan Niat dan Tiga Macam Keluar dari Masjid Saat I’tikaf
Ulama
mengkiaskan i’tikaf dengan haji dalam masalah pensyaratan niat, karena
adanya kesamaan dalam pengharaman hal-hal yang sebelumnya dibolehkan seperti
berhubungan suami istri dan lain-lain. Maka boleh seseorang mensyaratkan dalam
niatnya ketika memulai i’tikaf bahwa ia akan keluar dari masjid karena
suatu hajat, dengan memperhatikan tiga jenis keluar dari masjid berikut ini:[1]
1) Keluar
yang dibolehkan dengan pensyaratan dan tanpa persyaratan niat, yaitu keluar
untuk melakukan sesuatu yang harus dilakukan seperti buang hajat, sakit,
berwudhu’ yang wajib, mandi wajib atau selainnya, demikian pula makan dan
minum, apabila tidak disediakan di masjid.
2) Keluar
yang tidak dibolehkan kecuali dengan melakukan pensyaratan niat sejak awal i’tikaf,
yaitu menjenguk orang sakit, mengunjungi orang tua dan mengantar jenazah. Ini
adalah keluar untuk melakukan ketaatan yang tidak diwajibkan, maka tidak boleh
dilakukan kecuali apabila telah melakukan pensyaratan dalam niat di awal i’tikaf.
Perhatian: Keluar jenis ini juga dibolehkan
apabila ada hal yang darurat walau tanpa pensyaratan, seperti membantu orang
yang sakit keras dan tidak ada orang lain yang membantunya, atau mengurus
jenazah yang tidak ada orang lain yang mengurusnya, atau orang sakit dan
jenazah tersebut adalah orang yang wajib bagi orang yang beri’tikaf
untuk membantu dan mengurus seperti orang tuanya, istrinya, anak-anaknya dan
lain-lain.
3) Keluar
yang tidak dibolehkan sama sekali, tidak dengan pensyaratan dan tidak pula
tanpa pensyaratan niat, jika dilakukan maka batal i’tikafnya, seperti
keluar untuk jual beli di pasar dan berhubungan suami istri, maka seperti ini
tidak boleh dengan atau tanpa pensyaratan dalam niat.
Pensyaratan
ini penting karena pada asalnya keluar masjid itu terlarang bagi orang yang beri’tikaf
kecuali dengan pensyaratan atau karena darurat, sebagaimana dalam hadits
Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha, beliau berkata,
السُّنَّةُ
عَلَى الْمُعْتَكِفِ: أَنْ لَا يَعُودَ مَرِيضًا، وَلَا يَشْهَدَ جَنَازَةً، وَلَا
يَمَسَّ امْرَأَةً، وَلَا يُبَاشِرَهَا، وَلَا يَخْرُجَ لِحَاجَةٍ، إِلَّا لِمَا
لَا بُدَّ مِنْهُ، وَلَا اعْتِكَافَ إِلَّا بِصَوْمٍ، وَلَا اعْتِكَافَ إِلَّا فِي
مَسْجِدٍ جَامِعٍ
“Sunnah bagi
orang yang beri’tikaf untuk tidak menjenguk orang yang sakit, tidak
menghadiri jenazah, tidak menyentuh wanita, tidak pula berhubungan badan, tidak
keluar karena satu keperluan kecuali yang mau tidak mau harus dilakukan, dan
tidak ada i’tikaf (yang lebih afdhal) kecuali dengan puasa, dan tidak
ada i’tikaf selain di masjid yang digunakan sholat berjama’ah.” [HR.
Abu Daud, Shahih Abi Daud: 2135]
Syarat Kelima: I’tikaf dilakukan di
masjid, sebagaimana firman Allah ta’ala,
وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Dan kalian
beri’tikaf di masjid.” [Al-Baqoroh: 187]
Syarat Keenam: I’tikaf di masjid yang
dilakukan padanya sholat berjama’ah, ini syarat khusus bagi laki-laki, sebab
sholat berjama’ah wajib bagi laki-laki, apabila ia harus keluar masjid untuk
melakukan sholat berjama’ah di masjid lainnya maka itu menafikan tujuan i’tikaf,
yaitu berdiam diri di masjid, tidak banyak keluar. Dan tidak dipersyaratkan
masjid tersebut harus diadakan padanya sholat Jum’at, karena keluar ke masjid
lain untuk sholat Jum’at tidak sering dilakukan. Namun yang afdhal beri’tikaf
di masjid yang diadakan sholat Jum’at sehingga tidak perlu keluar lagi ke
masjid lain.[2]
Oleh karena
itu ulama dahulu mengingkari secara keras terhadap orang yang menyendiri dengan
tujuan beribadah dan tidak ikut sholat berjama’ah dan Jum’at di masjid.
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata,
سئل ابن عباس عن رجل
يصوم النهار و يقوم الليل و لا يشهد
الجمعة و الجماعة قال : هو في النار,
فالخلوة المشروعة لهذه الأمة هي الإعتكاف في
المساجد خصوصا في شهر رمضان خصوصا في
العشر الأواخر منه كما كان النبي صلى
الله عليه و سلم يفعله
“Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu’anhuma pernah ditanya tentang seorang (laki-laki) yang (menyendiri)
berpuasa di siang hari dan sholat tahajjud di malam hari, namun tidak ikut
sholat Jum’at dan sholat jama’ah, beliau berkata: ‘Dia di neraka’. Maka
menyendiri yang disyari’atkan bagi umat ini adalah i’tikaf di masjid,
secara khusus di bulan Ramadhan, yaitu di sepuluh hari terakhirnya sebagaimana
yang dilakukan oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.” [Lathooiful
Ma’aarif: 207]
Adapun bagi
wanita boleh i’tikaf di masjid yang tidak dilakukan padanya sholat
berjama’ah, karena wanita tidak wajib sholat berjama’ah, tetapi dengan syarat
itu adalah masjid umum, bukan masjid khusus di rumahnya, dan syarat lain bagi
wanita adalah izin suami atau wali dan aman dari ‘fitnah’ (seperti
godaan antara laki-laki dan wanita, atau memunculkan mudarat seperti
menimbulkan prasangka buruk dan pembicaraan yang tidak baik).[3]
Demikian
pula orang yang diberi keringanan untuk tidak sholat berjama’ah seperti karena
sakit maka boleh baginya beri’tikaf di masjid umum mana saja walau tidak
diadakan sholat berjama’ah.[4]
Dan
musholla-musholla khusus wanita baik di rumah, di sekolah atau di kantor tidak
termasuk kategori masjid, maka tidak boleh digunakan untuk i’tikaf.[5]
Adapun
pensyaratan i’tikaf hanya di tiga masjid, yaitu Masjidil Harom, Masjid
Nabawi dan Masjidil Aqsho maka haditsnya diperselisihkan para ulama tentang
keshahihannya. Andai shahih, maka maknanya yang benar adalah lebih afdhal beri’tikaf
di tiga masjid tersebut, bukan sebagai pembatasan syari’at I’tikaf hanya di
tiga masjid tersebut.[6]
Ketiga: Hukum I’tikaf
Hukum i’tikaf
sunnah (kecuali karena nazar maka wajib) berdasarkan dalil Al-Qur’an,
As-Sunnnah dan ijma’. Allah ta’ala berfirman,
وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ
عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Dan
janganlah kalian bercampur dengan istri-istri kalian, sedang kalian beri’tikaf
di masjid.” [Al-Baqoroh: 187]
Ummul
Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله
عليه وسلم كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ
مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ
اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِه
“Bahwasannya
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir
Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau, kemudian istri-istri beliau masih
melakukan beri’tikaf sepeninggal beliau.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Al-Imam
An-Nawawi rahimahullah berkata,
الاعتكاف سنة بالإجماع، ولا
يجب إلا بالنذر بالإجماع
“I’tikaf
hukumnya sunnah berdasarkan ijma’, dan tidak diwajibkan kecuali karena nazar,
juga berdasarkan ijma’.” [Al-Majmu’, 6/407]
وأجمع المسلمون على أنه
قربة وعمل صالح
“Dan sepakat
kaum muslimin bahwa i’tikaf adalah ibadah untuk mendekatkan diri kepada
Allah dan amal shalih.” [Syarhul ‘Umdah, 2/711]
Keempat: Tujuan dan Hikmah I’tikaf
Tujuan dan
hikmah i’tikaf adalah,
تسليم
المعتكف: نفسه، وروحه، وقلبه، وجسده بالكلية إلى عبادة الله تعالى، طلباً لرضاه،
والفوز بجنته، وارتفاع الدرجات عنده تعالى، وإبعاد النفس من شغل الدنيا التي هي
مانعة عما يطلبه العبد من التقرب إلى الله – عز وجل –
“Orang yang
beri’tikaf menyerahkan dirinya, ruhnya, hatinya dan jasadnya secara
totalitas untuk beribadah kepada Allah ta’ala, demi mencari ridho-Nya,
menggapai kebahagian di surga-Nya, terangkat derajat di sisi-Nya dan menjauhkan
diri dari semua kesibukan dunia yang dapat menghalangi seorang hamba untuk
berusaha mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla.” [Ash-Shiyaamu fil
Islam, hal. 459]
Al-Hafizh
Ibnu Rajab rahimahullah berkata,
فمعنى
الاعتكاف وحقيقته: قطع
العلائق عن الخلائق للاتصال بخدمة الخالق وكلما قويت المعرفة بالله
والمحبة له والأنس به أورثت صاحبها الإنقطاع إلى الله تعالى بالكلية على كل حال
“Makna i’tikaf
dan hakikatnya adalah memutuskan semua interaksi dengan makhluk demi menyambung
hubungan dengan khidmah (focus beribadah ibadah) kepada Al-Khaliq, dan
setiap kali menguat pengenalan seseorang kepada Allah, kecintaan kepada-Nya dan
kenyamanan dengan-Nya maka akan melahirkan baginya keterputusan dari makhluk
untuk berkosentrasi secara totalitas kepada Allah ta’ala di setiap
keadaan.” [Lathooiful Maarif, hal. 191]
Dan sungguh
menakjubkan, di tengah-tengah kesibukan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
untuk mendakwahi seluruh umat manusia, memimpin negara dan mengurus
istri-istri, keluarga dan berbagai permasalahan kaum muslimin, beliau masih beri’tikaf
setiap tahun; memfokuskan diri untuk beribadah kepada Allah ta’ala di sepuluh
hari terakhir Ramadhan dan memutuskan diri dari segala kesibukan dunia
serta mengurangi interaksi dengan makhluk.
Bahkan
apabila beliau tidak sempat melakukannya maka beliau akan meng-qodho’ di
bulan Syawwal atau di bulan Ramadhan berikutnya beliau akan beri’tikaf
20 hari, ini semuanya menunjukkan pentingnya i’tikaf dan termasuk sunnah
mu’akkadah, sunnah yang sangat ditekankan.
Beliau beri’tikaf
demi meningkatkan ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala di sepuluh hari
terakhir Ramadhan, karena inilah hari-hari yang paling afdhal di bulan
Ramadhan, terutama waktu malamnya, lebih utama lagi pada lailatul qodr
yang lebih baik dari 1000 bulan.
Namun sangat
disayangkan banyak kaum muslimin justru kehilangan semangat dan ruh ibadah di
akhir-akhir Ramadhan, apabila di awal Ramadhan masjid-masjid penuh sesak, di
akhir Ramadhan pasar-pasar, mall-mall, jalan-jalan hingga tempat-tempat hiburan
yang ramai dikunjungi, mereka menyelisihi petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Ummul
Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى
الله عليه وسلم يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ
الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ
“Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam bersungguh-sungguh dalam beribadah di sepuluh
hari terakhir Ramadhan melebihi waktu yang lainnya.” [HR. Muslim]
Ummul
Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha juga berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله
عليه وسلم إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ
مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
“Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam apabila masuk sepuluh hari terakhir Ramadhan maka
beliau mengencangkan sarungnya (tidak berhubungan suami istri dan mengurangi
makan dan minum), menghidupkan malamnya (dengan memperbanyak ibadah) dan
membangun keluarganya (untuk ibadah).” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Kelima: Waktu I’tikaf
Waktu i’tikaf
adalah di sepuluh hari terakhir Ramadhan, inilah yang diriwayatkan dari
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu’anhum,
tidak ada satu riwayat pun anjuran beri’tikaf di selain sepuluh hari
terakhir Ramadhan, tidak di awal dan pertengahan Ramadhan, tidak pula di
bulan-bulan yang lain, kecuali karena qodho’ atau nazar, maka boleh
dikerjakan di bulan yang lain. Dan nazar itu sendiri hukum asalnya adalah
makruh menurut pendapat terkuat insya Allah, namun apabila sudah bernazar maka
wajib ditunaikan.
Andaikan beri’tikaf
di selain sepuluh hari terakhir Ramadhan itu dianjurkan, tentu akan dikabarkan
oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, maka tidaklah patut menganjurkan
manusia untuk beri’tikaf di selain sepuluh hari terakhir Ramadhan. Akan
tetapi barangsiapa melakukannya maka tidak terlarang dan tidak dihukumi bid’ah,
karena Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengizinkan Umar bin Khattab
radhiyallahu’anhu menunaikan nazar i’tikaf di selain sepuluh hari
terakhir Ramadhan.[7]
Akan tetapi
jika seseorang setiap kali masuk masjid berniat i’tikaf maka hendaklah
diingkari dan dilarang, karena itu tidak termasuk petunjuk Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam.[8]
Keenam: Batas Waktu Minimal dan
Maksimal Beri’tikaf
Tidak ada
batas waktu minimal dan maksimal yang dipersyaratkan untuk sahnya i’tikaf,
yang afdhal adalah sepuluh hari dan malamnya penuh di akhir Ramadhan, namun
andaikan seseorang berhalangan untuk beri’tikaf secara penuh maka tidak
mengapa insya Allah ia beri’tikaf sesuai kemampuannya. Asy-Syaikh Ibnu
Baz rahimahullah berkata,
والصواب في الاعتكاف أنه
لا حدَّ لأكثره ولا لأقلِّه، وليس له
حد محدود، فلو دخل المسجد ونوى الاعتكاف
ساعة أو ساعتين فهو اعتكاف
“Pendapat
yang benar dalam masalah i’tikaf adalah tidak ada batas waktu
maksimalnya dan minimalnya, tidak ada batas yang ditentukan, andai seseorang
masuk masjid dan berniat i’tikaf satu atau dua jam maka itu adalah i’tikaf.”
[Ash-Shiyaamu fil Islam, hal. 461]
Ketujuh: Kapan Waktu Mulai dan Akhir
I’tikaf?
Pendapat Pertama: Mulai i’tikaf tanggal
21 Ramadhan dan masuk ke masjid sebelum terbenam matahari di tanggal 20
Ramadhan agar ketika terbenam matahari orang yang beri’tikaf sudah ada
di masjid, karena saat itu telah masuk tanggal 21 Ramadhan. Ini adalah pendapat
mayoritas ulama, dan ini adalah pendapat yang terkuat insya Allah, karena
tidaklah disebut sepuluh hari yang terakhir kecuali dimulai sejak awal tanggal
21 Ramadhan, yaitu sejak terbenamnya matahari.
Demikian
pula kemungkinan lailatul qodr jatuh pada malam 21 Ramadhan, dan itu
pernah terjadi di masa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, maka sepatutnya
untuk mulai i’tikaf sejak awal malam 21 Ramadhan dan masuk sebelum
matahari terbenam agar tidak luput sedikit pun waktunya, karena diantara tujuan
penting i’tikaf adalah memperbanyak ibadah ketika lailatul qodr.
Pendapat Kedua: Mulai i’tikaf ba’da
Shubuh tanggal 21 Ramadhan, berdalil dengan hadits Ummul Mukminin Aisyah
radhiyallahu’anha,
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذَا أَرَادَ
أَنْ يَعْتَكِفَ صَلَّى الْفَجْرَ، ثُمَّ دَخَلَ
مُعْتَكَفَهُ
“Dahulu Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam apabila hendak beri’tikaf maka beliau
sholat Shubuh, kemudian masuk ke tempat i’tikafnya.” [HR.
Al-Bukhari dan Muslim]
Ini adalah
pendapat sebagian ulama, akan tetapi ini adalah pendapat yang lemah, karena
hadits tersebut tidak menunjukkan bahwa beliau baru mulai beri’tikaf
setelah sholat Shubuh, tetapi baru masuk ke tempat i’tikafnya, yaitu
kemah yang disediakan untuk beliau, sebagaimana dalam sebuah riwayat yang lebih
kuat dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha dengan lafaz,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَعْتَكِفُ فِي العَشْرِ الأَوَاخِرِ
مِنْ رَمَضَانَ، فَكُنْتُ أَضْرِبُ لَهُ خِبَاءً
فَيُصَلِّي الصُّبْحَ ثُمَّ يَدْخُلُهُ
“Dahulu Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir
Ramadhan, maka aku membuatkan untuk beliau sebuah kemah, beliau sholat Shubuh
kemudian masuk ke dalamnya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Bahkan
terdapat riwayat yang menegaskan bahwa beliau masuk ke tempat i’tikaf setelah
sholat Shubuh di tempat yang telah beliau lakukan i’tikaf sebelumnya, bukan
baru masuk pertama kali, yaitu riwayat lain dari Ummul Mukminin Aisyah
radhiyallahu’anha dengan lafaz,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ
رَمَضَانٍ، وَإِذَا صَلَّى الغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ
الَّذِي اعْتَكَفَ فِيهِ
“Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam beri’tikaf di setiap Ramadhan, maka apabila
beliau telah sholat Shubuh, beliau masuk ke tempat yang telah beliau lakukan i’tikaf
padanya.” [HR. Al-Bukhari]
Adapun waktu
keluarnya, jumhur ulama berpendapat adalah terbenamnya matahari di akhir
Ramadhan, dan inilah pendapat yang kuat insya Allah karena yang disyari’atkan
dan diniatkan adalah i’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan, bukan
Syawwal. Dan sebagian ulama berpendapat bahwa yang afdhal adalah tetap di
masjid dan keluar bersamaan dengan waktu menuju sholat Idul fitri, namun ini
adalah pendapat yang lemah karena tidak didukung oleh dalil yang shahih
lagi sharih, serta bertentangan dengan sunnah pada hari ‘ied untuk
berpenampilan bagus.[9]
Kedelapan: Amalan-amalan Saat Beri’tikaf
Disunnahkan
bagi orang yang beri’tikaf untuk memperbanyak ibadah kepada Allah ta’ala
seperti:[10]
Sholat-sholat sunnah, baik sholat
sunnah yang memiliki sebab seperti sholat sunnah Dhuha, Wudhu dan lain-lain,
maupun sholat sunnah muthlaq (umum, yang tidak memiliki sebab, boleh
dilakukan semampunya dan kapan saja selama bukan di waktu-waktu terlarang, dan
dilakukan dengan cara dua raka’at salam, dua raka’at salam),
Membaca Al-Qur’an,
Berdoa,
Berdzikir,
Istighfar,
Bertaubat dan ibadah-ibadah
khusus lainnya,
Menghindari ucapan-ucapan yang
sia-sia apalagi yang haram, namun tidak disyari’atkan untuk berniat ibadah
dengan cara diam tidak mau bicara sama sekali,
Meminimalkan interaksi dan
pembicaraan dengan orang-orang agar lebih banyak beribadah dan lebih khusyu’,
Tidak dianjurkan untuk
memperbanyak majelis ilmu, kecuali satu atau dua kali dalam sehari, dan
hendaklah lebih fokus beribadah khusus secara pribadi maupun sholat berjama’ah.
Kesembilan: Hal-hal yang Mubah bagi
Orang yang Beri’tikaf
1) Keluar
masjid untuk menunaikan hajat yang mesti dilakukan, baik secara tabiat maupun
syari’at, seperti;
Keluar untuk buang hajat,
Keluar untuk makan dan minum
apabila tidak tersedia di masjid,
Keluar untuk berwudhu atau
mandi wajib,
Keluar untuk sholat Jum’at,
Keluar untuk bersaksi apabila
diwajibkan atasnya,
Keluar karena mengkhawatirkan
suatu ‘fitnah’ yang mengancam diri, keluarga, anak atau harta,
Keluar untuk melakukan sesuatu
yang wajib atau meninggalkan yang haram,
Maka tidak
batal i’tikaf seseorang apabila keluarnya karena alasan-alasan di atas,
dan hendaklah segera kembali ke masjid apabila hajat-hajatnya telah selesai.
Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذَا اعْتَكَفَ، يُدْنِي
إِلَيَّ رَأْسَهُ فَأُرَجِّلُهُ، وَكَانَ لَا
يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةِ الْإِنْسَانِ
“Dahulu Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam apabila beri’tikaf, beliau mendekatkan
kepalanya kepadaku (tanpa keluar dari masjid) dan aku menyisir rambut beliau,
dan beliau tidak masuk ke rumah kecuali karena hajat sebagai manusia.” [HR.
Al-Bukhari dan Muslim]
2) Boleh
melazimi satu tempat di masjid untuk beri’tikaf dan boleh membuat kemah
kecil untuk beri’tikaf di dalamnya. Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha
berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَعْتَكِفُ فِي العَشْرِ الأَوَاخِرِ
مِنْ رَمَضَانَ، فَكُنْتُ أَضْرِبُ لَهُ خِبَاءً
فَيُصَلِّي الصُّبْحَ ثُمَّ يَدْخُلُهُ
“Dahulu Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan,
maka aku membuatkan untuk beliau sebuah kemah, beliau sholat Shubuh kemudian
masuk ke dalamnya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
3) Boleh
dikunjungi oleh keluarga dan berbicara dengan mereka serta mengantar kembali
pulang apabila dibutuhkan, sebagaimana dalam hadits Ummul Mukminin Shofiyyah
radhiyallahu’anha,
أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزُورُهُ
فِي اعْتِكَافِهِ فِي المَسْجِدِ فِي العَشْرِ
الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ، فَتَحَدَّثَتْ عِنْدَهُ
سَاعَةً، ثُمَّ قَامَتْ تَنْقَلِبُ، فَقَامَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَهَا يَقْلِبُهَا
“Bahwasannya
beliau mengunjungi Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika sedang beri’tikaf
di masjid pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, maka beliau berbicara bersama
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam beberapa saat, kemudian bangkit untuk
kembali pulang, maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam pun bangkit bersamanya
untuk mengantarnya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
4) Boleh
makan dan minum di masjid dengan tetap menjaga kebersihan. Sahabat yang Mulia
Abdullah bin Al-Harits bin Jaz’in Az-Zubaidi radhiyallahu’anhu berkata,
كُنَّا نَأْكُلُ عَلَى عَهْدِ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فِي الْمَسْجِدِ الْخُبْزَ وَاللَّحْمَ
“Dahulu kami
makan roti dan daging pada masa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam di
masjid.” [HR. Ibnu Majah, Shahih Ibni Majah, 3/126]
Kesepuluh: Pembatal-pembatal I’tikaf
1) Keluar masjid dengan sengaja tanpa
keperluan, berdasarkan hadits Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha, beliau
berkata,
وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ
إِلَّا لِحَاجَةِ الْإِنْسَانِ
“Dahulu Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam tidak masuk ke rumah kecuali karena hajat sebagai
manusia.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Al-Imam Ibnu
Hazm rahimahullah berkata,
واتفقوا على أن من خرج
من معتكفه في المسجد لغير حاجةٍ، ولا
ضرورة، وبرٍّ أُمِرَ به ونُدِب إليه، فإنَّ
اعتكافه قد بطل
“Ulama
sepakat bahwa orang yang keluar dari tempat i’tikafnya di masjid tanpa
hajat dan tanpa alasan darurat, bukan pula karena suatu kebajikan yang
diperintahkan atau disunnahkan, maka i’tikafnya telah batal.” [Maraatibul
Ijma’, hal. 74]
2)
Berhubungan suami istri, sebagaimana firman Allah ta’ala,
وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ
عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Dan
janganlah kalian bercampur dengan istri-istri kalian, sedang kalian ber’tikaf
di masjid.” [Al-Baqoroh: 187]
3) Murtad,
keluar dari Islam –kita berlindung kepada Allah ta’ala dari kemurtadan-. Murtad
membatalkan i’tikaf, bahkan menghapus seluruh ibadah yang telah
dikerjakan dan menghalangi diterimanya ibadah yang akan dikerjakan. Allah
ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ
فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ
مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan
barangsiapa kafir dengan keimanan maka terhapuslah amalannya dan dia di akhirat
termasuk orang-orang yang merugi.” [Al-Maidah: 5]
Allah ta’ala
juga berfirman,
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ
مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Seandainya
mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah
mereka kerjakan.” [Al-An’am: 88]
Allah ta’ala
juga berfirman,
وَمَا مَنَعَهُمْ أَن تُقْبَلَ
مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلاَّ أَنَّهُمْ كَفَرُواْ
بِالله وَبِرَسُولِهِ
“Dan tidak
ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya
melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya.” [At-Taubah:
54]
وبالله
التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
—————————
[1] Lihat Syarhul ‘Umdah, Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, 2/810 dan Majaalis Syahri Ramadhan,
hal. 245-246, sebagaimana dalam Ash-Shiyaamu fil Islam, hal.
477.
[2] Lihat Asy-Syarhul Mumti’,
6/509.
[3] Lihat Asy-Syarhul Mumti’,
6/509-511.
[4] Lihat Asy-Syarhul Mumti’,
6/511.
[5] Lihat Asy-Syarhul Mumti’,
6/52.
[6] Lihat Asy-Syarhul Mumti’,
6/502.
[7] Lihat Asy-Syarhul Mumti’,
6/504-505.
[8] Lihat Asy-Syarhul Mumti’,
6/506.
[9] Lihat Ash-Shiyaamu fil
Islam, hal. 469.
[10] Lihat Asy-Syarhul Mumti’,
6/500-501.
Sumber:
https://www.facebook.com/sofyanruray.info/posts/625866537562832:0